Trumponomics, Anti Globalisasi Dan Ekonomi Proteksi
Presiden terpilih AS Donald Trump menjanjikan perubahan kebijakan besar yang dapat menghasilkan pertumbuhan dan kemakmuran. Namun sebagian rencananya dikhawatirkan dapat memberi implikasi buruk pada ekonomi global.
Dengan slogan kampanye Make America Great Again, Trump ingin mengembalikan kejayaan AS dalam segala bidang, terutama ekonomi. Trump mengusung platform ekonomi yang unik dan kontras dengan pemerintahan Obama, yang memunculkan istilah Trumponomics. Misinya, menerapkan proteksionisme dan menolak globalisasi.
Dalam survei yang dilaksanakan oleh Wall Street Journal, sebagian besar ekonom meyakini proposal Trump memangkas pajak dan membangun infrastruktur berarti stimulus fiskal agresif. Para ekonom memproyeksikan PDB bisa tumbuh 2,2% pada 2017 dan 2,3% pada 2018 berkat stimulus fiskal. Sedangkan inflasi diperkirakan naik ke 2,2% tahun depan dan 2,4% tahun berikutnya.
Pemerintahan Trump belum terbentuk dan banyak ekonom memperingatkan estimasi mereka tentatif mengingat masih adanya ketidakpastian tinggi. Perubahan kebijakan yang drastic dapat memberi dampak yang besar, baik secara ekonomi dan politik. Apalgi bila ternyata gagal diimplementasikan. Sumber optimisme para ekonom adalah pemotongan pajak dan rencana infrastruktur. Dengan kembalinya Republik menguasai legislatif, sepertinya proposal Trump tidak akan menemui hambatan besar.
Namun ada beberapa rencana Trump yang dianggap sulit terealisasi atau minimal mendapat rintangan yang besar. Trump berencana menerapkan tarif pada produk impor sebagai bentuk melindungi industri dalam negeri dan mengembalikan lapangan kerja manufaktur ke AS. Ia berencana memaksa perusahaan AS berproduksi di dalam negeri, bila tidak, maka produk mereka akan dikenakan tarif. Bahkan Trump ingin memberlakukan bea masuk 45% pada produk China.
Meski ia tidak menyebutnya, semua kalangan tahu bahwa itu merupakan proteksionisme. Dalam kampanyenya, ia selalu mencibir perjanjian perdagangan bebas yang dianggapnya sebagai biang keladi hilangnya lapangan kerja dari AS. Ia berjanji untuk merenegosiasi semua kesepakatan perdagangan bebas dan bahkan sampai mengancam keluar dari WTO.
Namun semua itu tidaklah seperti membalikkan telapak tangan. Pertama, menetapkan tarif pada produk impor, terutama dari China, berpotensi mendapatkan pembalasan. Kedua, renegosiasi kesepakatan perdagangan bebas bisa memakan waktu yang panjang. Ketiga, mengembalikan lapangan kerja manufaktur ke AS bisa menjadi mission impossible. Pasalnya, perusahaan sudah terbiasa berproduksi menggunakan tenaga kerja murah di negara berkembang, termasuk di Asia. Dengan tingkat upah yang relatif lebih tinggi, kegiatan produksi di AS bisa dianggap tidak efisien dan ekonomis.
Posting Komentar