Menjawab Kekhawatiran Utang


Perbicangan mengenai kondisi perekonomian Indonesia semakin intensif seiring dengan bergulirnya pemilihan presiden April mendatang. Interaksi warga di jejaring sosial dan pemberitaan daring menguak tren kekhawatiran masyarakat tentang tingkat utang pemerintah Indonesia saat ini. Dalam rangka menjawab kekhawatiran tersebut, Menteri Keuangan menyatakan bahwa utang pemerintah dikelola dengan baik (Fauzan, 2019). Dikutip dari Kumparan, Direktur Strategi dan Portfolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Schneider Siahaan, mendukung pernyataan tersebut dengan menjelaskan strategi yang dijalankan, yaitu dengan melakukan pengaturan pemerataan utang berdasarkan waktu jatuh tempo (kumparanBISNIS, 2018). Namun, apakah kondisi utang pemerintah Indonesia benar-benar aman? Tulisan ini akan membahas perihal keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) dan hubungannya dengan kondisi utang pemerintah secara serta menggunakan kerangka pikir yang berbasis teori untuk menilai kesehatan tingkat.


Dalam membiayai kegiatannya, pemerintah dapat merencanakan anggaran defisit, yaitu nilai belanja lebih besar dari pendapatan yang diperoleh. Untuk membiayai kekurangan tersebut, pemerintah bisa menerbitkan surat utang. Sebagai contoh, bentuk surat utang di Indonesia misalnya Surat Berharga Negara (SBN) dan Obligasi Republik Indonesia (ORI). Untuk mendorong pembelian surat utang, pemerintah perlu meyakinkan masyarakat bahwa kewajibannya akan dipenuhi (Wickens, 2008). Untuk menjamin kemampuan pemerintah dalam memenuhi kewajibannya, maka diperlukan sebuah mekanisme yang memastikan bahwa keuangan pemerintah memiliki kapasitas yang sesuai untuk menanggung beban utangnya.

Batas utang pemerintah dan defisit anggaran yang ditentukan dalam Perjanjian Maastricht dikalkulasi menggunakan Rumus 1 (Wickens, 2008). Rumus tersebut menggunakan beberapa variabel makroekonomi seperti tingkat utang pemerintah pada tahun t (bt), tingkat defisit anggaran pada tahun t (dt), PDB pada tahun t (yt), tingkat pertumbuhan ekonomi riil (γ), dan tingkat inflasi (Ï€). Logika di balik rumus tersebut yaitu, terdapat batas bawah bagi pertumbuhan ekonomi nominal  atau batas atas bagi rasio defisit anggaran terhadap PDB, , untuk setiap tingkat rasio utang pemerintah terhadap PDB, . Batas tersebut menjamin bahwa pertumbuhan utang pemerintah dapat dikendalikan dan tidak akan membengkak seiring dengan berjalannya waktu. Dengan kerangka pikir tersebut, kita akan mengkaji batasan pada kasus dunia nyata.


Perjanjian Maastricht menggunakan asumsi bahwa perekonomian negara-negara Eropa dalam jangka panjang akan tumbuh sebesar 3 persen per tahun dengan target inflasi European Central Bank (ECB) sebesar 2 persen (Temurshoev, 2017). Asumsi yang digunakan tentu tidak sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia (lihat Grafik 2 dan 3). Perbedaan struktur dan karakteristik perekonomian Indonesia dengan negara-negara Eropa dapat dilihat melalui perbedaan tingkat pertumbuhan jangka panjang maupun tren stabilitas harga. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan performa jangka panjang masing-masing perekonomian.



Penelitian oleh Huixin Bi dari Federal Reserve Bank of Kansas City menekankan bahwa batas fiskal ditentukan oleh aspek fundamental perekonomian dan kebijakan masing-masing negara. Menurut Bi (2017), batas fiskal bukan merupakan batas yang bersifat statis, melainkan dunamis—bergantung pada kondisi perekonomian dan kebijakan yang tidak pasti di masa depan. Batas fiskal bergantung pada potensi maksimal surplus anggaran yang bisa diperoleh pemerintah di masa depan. Guncangan-guncangan perekonomian, tingkat kerentanan, serta pola kebijakan berbeda yang dimiliki setiap negara mempengaruhi potensi surplus anggaran masing-masing negara, dan dengan demikian, membedakan batas fiskal antar negara. Bi memperkuat argumennya dengan menyajikan visualisasi distribusi probabilitas kebangkrutan berdasarkan rasio utang pemerintah terhadap PDB (debt-to-GDP ratio) (lihat Grafik 4). Berdasarkan visualisasi tersebut, terlihat jelas perbedaan batas fiskal negara berkembang dan negara maju. Probabilitas kebangkrutan negara berkembang berada pada rentang rasio utang terhadap PDB 80-140 persen, sedangkan probabilitas negara maju berada pada rentang 100-400 persen.


Membahas pertanyaan utama, apakah tingkat utang Indonesia cukup sehat berdasarkan model yang ditunjukkan oleh Wickens? . Data tahun 2017 menunjukkan bahwa rasio defisit terhadap PDB sebesar 2,32 persen dan rasio utang per PDB per September 2018 sebesar 30,4 persen. Dengan memasukkan data tersebut dalam model Domar yang sudah dibahas sebelumnya, kita akan menemukan bahwa utang pemerintah Indonesia masih berada pada tingkat yang sehat (lihat Rumus 2). Dengan tingkat utang saat ini, pertumbuhan ekonomi nominal Indonesia tidak boleh berada di bawah 8,15 persen atau rasio defisit terhadap PDB tidak boleh melebihi 2,72 persen.

Meskipun utang pemerintah Indonesia berada pada tingkat yang aman, namun pelbagai risiko yang meningkatkan kemungkinan gagal bayar perlu diantisipasi. Múcka (2015) melakukan studi terhadap kesesuaian batas utang Stability and Growth Pact (SGP) Perjanjian Maastricht sesuai untuk digunakan pada kasus perekonomian Slovakia. Selain mendapatkan tingkat utang yang relevan bagi ekonomi Slovakia, modelnya juga menemukan bahwa belanja sosial pemerintah yang terkait dengan jaminan hari tua dan jaminan kesehatan perlu dikontrol untuk menghindari beban yang kian membengkak. Pemerintah juga perlu mengantisipasi risiko yang mungkin muncul dari situasi perekonomian yang tidak pasti. Kedua risiko ini bisa merubah distribusi probabilitas bangkrutnya pemerintah dan membuat tingkat utang yang sebelumnya dianggap aman menjadi berbahaya.

Kita telah melihat bahwa batas utang yang ditetapkan dalam Stability and Growth Pact (SGP) Perjanjian Maastricht bukan merupakan aturan yang berlaku universal. Mekanisme keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) dapat dimodelkan untuk mencari batas utang yang dapat ditanggung oleh kemampuan fiskal suatu perekonomian. Batas utang suatu negara, berbeda dengan batas yang dihadapi oleh negara lainnya—bergantung pada karakteristik dan kondisi perekonomian yang dihadapi oleh masing-masing negara. Hal ini dibuktikan oleh studi sebelumnya yang menemukan perbedaan kontras pada probabilitas kebangkrutan pemerintah berdasarkan tingkat utangnya pada negara maju dan berkembang. Dalam tulisan ini juga ditunjukkan dengan menggunakan model yang ditunjukkan oleh Wickens (2008), bahwa utang pemerintah Indonesia masih berada pada tingkat yang aman. Meskipun telah dikatakan sebelumnya bahwa terdapat yang perlu diantisipasi dalam status tersebut, kita dapat dengan yakin bersikap bahwa kondisi fiskal Indonesia masih sehat dan pemerintah masih berhak atas kepercayaan masyarakatnya.

Immanuel Satya Pekerti 24 Mei 2019