Janet Yellen, Menkeu Wanita Amerika Pertama Di Era Biden



Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden berencana mencalonkan mantan ketua The Fed, Janet Yellen sebagai Menteri Keuangan di periodenya. Apabila terpilih, Janet akan menjadi wanita pertama yang menjabat di posisi tersebut. Berdasarkan riset harian Pilarmas Sekuritas, Selasa (24/11), dipilihnya Yellen sebagai Menteri Keuangan baru karena Biden saat ini membutuhkan orang yang berpengalaman di bidangnya untuk menjaga komunikasi satu sama lain, serta menuju apa yang diinginkan oleh Presiden AS terpilih tersebut. 

Menurut Pilarmas, posisi Yellen sebagai mantan ketua The Fed akan memberikan gambaran bahwa dirinya mengetahui posisi Bank Sentral yang saat ini dipimpin oleh Powell. Kemudian, Yellen juga memahami cara kerja Bank Sentral. “Hal ini menjadi salah satu harapan yang muncul dalam benak semua orang karena dengan Yellen, keadaan mungkin akan jauh lebih baik,” ujar dia. Apabila Yellen terpilih, dia memiliki tugas berat, yakni mendorong perokonomian Amerika untuk bangkit kembali dalam kurun waktu 2 - 3 tahun mendatang dan melanjutkan proses stimulus fiskal bagi masyarakat Amerika yang saat ini masih belum terdapat kejelasan terkait hal tersebut. Untuk diketahui, Yellen menjabat sebagai ketua The Fed pada periode 2014 -2018. Selama menjabat, dia menjaga tingkat suku bunga tetap rendah dan bursa S&P hampir mengalami peningkatan 60%. 

Selain itu, Yellen juga pernah menjabat sebagai Dewan Penasihta Ekonomi dan menjadi Presiden Federal Reserve San Fransisco, serta Wakil Ketua Dewan Bank Sentral di Washington. Dari dalam negeri, Pemerintah Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang cukup banyak untuk memperbaiki sektor rill di periode mendatang, salah satunya adalah memperbaiki kualitas kredit sepanjang tahun 2020. Perpanjangan restrukturisasi kredit menjadi kesempatan bagi perbankan dan debitur untuk mempersiapkan pertumbuhan pada tahun depan, setelah kinerja sektor keuangan pada tahun ini diprediksi melambat sebagai dampak dari pandemi Covid-19. 

OJK menyebutkan, hingga akhir Oktober 2020 terdapat 100 bank yang telah mengimplementasikan restrukturisasi kredit. Relaksasi itu mengacu pada POJK Nomor 11/2020 yang telah diperpanjang hingga Maret 2022 dari sebelumnya Maret 2021. Restrukturisasi kredit tercatat telah melibatkan 7,53 juta debitur dengan total outstanding senilai Rp 932,6 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak 5,84 juta atau 78% dari total debitur berasal dari segmen UMKM dengan nominal Rp 369,8 triliun. Terdapat tiga pertimbangan utama OJK untuk memperpanjang restrukturisasi kredit hingga Maret 2022. 

Pertama, kasus paparan Covid-19 di Tanah Air dan dunia masih terus bertambah.Kehadiran vaksin bakal sangat menolong, tetapi masih terkendala distribusi bertahap alias butuh waktu. 

Kedua, sebagai langkah antisipatif dampak Covid-19 yang masih berlanjut. OJK menilai relaksasi akan membantu debitur terdampak Covid-19 yang masih memiliki prospek usaha tetapi memerlukan waktu lebih panjang untuk kembali normal. Ketiga, keselarasan dengan program pemerintah untuk menangani Covid-19 secara multiyears yang diprediksi akan melewati 2021. “Kami melihat perpanjangan restrukturisasi juga membutuhkan dukungan dari sisi fiskal seperti subsidi bunga hingga kebijakan makro ekonomi dari Bank Indonesia. Sehingga sinergi antara regulator sektor keuangan diharapkan dapat terus ditingkatkan,” ujar dia.