Persaingan Bisnis Dompet Digital Semakin Kental


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Mengucurkan modal besar untuk meraih profit tebal. Boleh jadi, begitulah harapan para investor PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) dalam memperluas ekspansi bisnisnya. 

Selasa pekan lalu (9/3), Gojek resmi menjadi salah satu pemegang saham PT Fintek Karya Nusantara (LinkAja). Gojek masuk ke LinkAja melalui penggalangan dana penerbitan saham preferen Seri B LinkAja yang mencapai  komitmen lebih dari US$ 100 juta.

LinkAja bukan satu-satunya perusahaan di sektor jasa keuangan yang dibidik Gojek sebagai lahan ekspansi bisnisnya. Sebelumnya, melalui PT Dompet Karya Anak Bangsa atau Gopay, anak usaha yang bergerak di bisnis layanan dompet digital (e-wallet), Gojek juga telah mengakuisisi 22,16% saham PT Bank Jago Tbk (ARTO) dengan nilai Rp 2,77 triliun. 

Bahkan, Gopay berniat untuk menambah modal lagi ke Bank Jago melalui skema penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) II alias rights issue. Hal tersebut terungkap dalam prospektus yang diterbitkan oleh Bank Jago dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), pada akhir Februari 2021 lalu.

Dalam prospektus tersebut dinyatakan bahwa Bank Jago akan menerbitkan 3 miliar saham baru di harga eksekusi Rp 2.350 per saham. Bila semua HMETD dilaksanakan, Bank Jago akan meraih dana segar Rp 7,05 triliun. Sebagai pemilik 22,16% saham ARTO, Gopay akan melaksanakan 560 juta HMETD senilai Rp 1,31 triliun. 

Tentu, tak ada asap tanpa ada api. Gencarnya Gojek menggandeng mitra bisnis tak bisa dilepaskan dari pesatnya penetrasi bisnis e-wallet di Tanah Air. Dalam beberapa tahun terakhir, bisnis dompet digital di dalam negeri semakin tak terbendung.

Ambil contoh transaksi uang elektronik dan dompet digital di tahun 2020 lalu. Data Statistik Pembayaran di Bank Indonesia (BI) menunjukkan, volume transaksi uang elektronik dan dompet digital di tahun 2020 mencapai 438,04 juta.

Adapun nilai transaksinya  Rp 22,13 triliun. Angka ini naik dibandingkan dengan Maret 2020 sejak masuknya pandemi Covid-19, yang hanya 401 juta dengan nilai Rp 15,03 triliun. 

Tak pelak, potensi bisnis pembayaran digital yang besar itu membuat banyak pelaku usaha berlomba menggarap sektor ini. Mulai dari perbankan, startup teknologi finansial (tekfin), hingga perusahaan telekomunikasi meluncurkan layanan serupa. Berdasarkan data Statistik Pembayaran BI, saat ini tak kurang dari 39 aplikasi e-wallet telah mendapatkan lisensi resmi.

Edward Kilian Suwignyo, Direktur Marketing LinkAja, menegaskan, belakangan ini, transaksi pembayaran nontunai semakin familier dan digemari masyarakat Indonesia.

Dan, salah satu alat pembayaran nontunai yang banyak digunakan masyarakat adalah e-wallet. Selain lebih mudah, e-wallet dinilai juga membuat orang tidak perlu was-was membawa uang tunai dalam jumlah besar.

Bukan cuma itu. Menurut Edward, di masa pandemi Covid-19 yang belum pasti kapan berakhirnya, transaksi e-wallet juga dianggap lebih aman dan sesuai dengan protokol kesehatan.

"Digital payment menjadi salah satu solusi alternatif pembayaran di masa pandemi. Penggunaan e-wallet dinilai sebagai antisipasi masyarakat meminimalisir risiko penularan Covid-19," kata Edward.

Keberagaman layanan dompet digital yang beredar di pasaran pada akhirnya juga membuat banyak masyarakat telah dimanjakan oleh beragam promosi yang diberikan para penyedia layanan ini. Singkatnya, praktis, aman, dan promo, jadi alasan mengapa layanan dompet digital makin disukai oleh para penggunanya.

Sumber pendapatan e-wallet

Pendapat senada diungkapkan oleh Vince Iswara, CEO dan Co-Founder DANA. Vince menuturkan, transaksi digital di masa pandemi tidak hanya menjadi kebutuhan, tapi sudah menjadi sebuah keharusan. Alhasil, masa pandemi mendorong masyarakat untuk mengeksplor berbagai fitur yang ada dalam layanan dompet digital.

Ya, melalui e-wallet,  pengguna memang bisa dengan mudah melakukan semua jenis transaksi pembayaran secara digital. Sebut saja, misalnya, belanja berbagai barang kebutuhan lewat kanal daring, membayar tagihan listrik, air, telepon, jasa transportasi online, hingga beli produk asuransi.

Sayangnya, meski diuntungkan, sampai sekarang hanya sedikit pengguna yang memahami model bisnis dompet digital. Apalagi, tidak banyak pelaku usaha yang mau membicarakannya secara terbuka.

Lantas, dari mana sumber pendapatan para perusahaan penyedia jasa layanan e-wallet?

Edward menjelaskan, ada beberapa kanal yang bisa menjadi pundi-pundi penghasilan bagi operator e-wallet. Salah satunya dari komisi atau biaya layanan. Cuma, kata dia, besaran komisi bisa beragam bergantung pada jenis produk, kisaran harga produk, atau layanan yang ditawarkan  merchant.

Selain itu, komisi  didapat dari seberapa sering pemakaian layanan e-wallet oleh konsumen. Jenis dan harga barang atau layanan turut menentukan besaran komisi.

Semakin banyak fitur dari e-wallet yang dipakai merchant, maka semakin besar pula penghasilan  penyedia layanan. "Jadi, semakin banyak merchant, semakin banyak transaksi, maka pendapatan semakin baik," katanya.

Karena itu, semua operator e-wallet berupaya memaksimalkan fitur pembayaran masing-masing dengan memperluas kerjasama demi menampung seluruh kebutuhan transaksi para pemakainya.

Sebab, komisi penjualan produk dan layanan lain di merchant yang terafiliasi ekosistem e-wallet pun jadi sumber penghasilan. Seperti e-commerce atau layanan transportasi online.
 
Dan, bila mengacu pada ketentuan BI yang mengatur besaran biaya merchant discount rate (MDR) atau transaction fee dari merchant untuk setiap transaksi sebesar 0,7%, tinggal dihitung saja berapa total transaksi dari ekosistem tiap bulannya. Wajar, jika perusahaan sekelas Gojek berani menggelontorkan dana jumbo untuk berkolaborasi dengan LinkAja.
 
Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom Indef, berpendapat, masuknya Gojek ke LinkAja memiliki dua tujuan besar. 

Pertama, untuk melengkapi ekosistem jasa pembayaran digital. Betul, saat ini pasar bisnis LinkAja masih terbatas. Boleh dibilang, kini LinkAja hanya menguasai pasar jasa transportasi online yang dimiliki badan usaha milik negara (BUMN. Tapi, dengan menggandeng LinkAja,  Gopay bisa memiliki privilese untuk masuk ke sistem pembayaran digital  BUMN.
 
Kedua, dengan menempatkan investasi di LinkAja, maka saat ini Gojek juga berperan sebagai venture capital untuk memperoleh profit. Tujuan serupa juga diharapkan Gojek dengan mengakuisisi saham Bank Jago. Terlebih, ke depan tren bank digital yang menjadi fokus bisnis Bank Jago juga memiliki prospek cerah.

Pendapat Bhima diakui oleh Andre Soelistyo, Co-CEO Gojek. Menurutnya, dengan menggandeng LinkAja sebagai mitra strategis, pihaknya berharap dapat menjangkau lebih banyak konsumen. “Pandemi Covid-19 dan dampaknya yang luas telah menekankan pentingnya pembayaran digital dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadikan kolaborasi ini sangat tepat waktu," katanya.

Penguasa pasar e-wallet

Tidak ada salahnya, memang, jika Gopay terus memperluas jangkauan pasar dengan menggandeng banyak mitra. Sebab, perusahaan yang mampu menjadi raksasa adalah mereka yang berhasil menjaring critical mass dan memonopoli pasar dengan layanan yang disediakannya. Tak terkecuali dalam bisnis dompet digital.
 
Apalagi, meski masuk dalam jajaran lima besar pemain dompet digital, saat ini penetrasi Gopay masih kalah dibandingkan ShopeePay. Perusahaan market research Ipsos in Indonesia, misalnya, pernah merilis hasil survei kepuasan dan loyalitas pengguna e-wallet. Survei ini dilakukan secara online pada 16–23 Oktober 2020.

Hasil survei Ipsos menunjukkan ShopeePay menjadi dompet digital yang paling sering digunakan selama bulan Oktober 2020 dengan porsi mencapai 34%. Lalu disusul  Ovo dengan 28%, kemudian GoPay 17%, Dana 14%, dan Link Aja 7%. 

ShopeePay juga berhasil mencatatkan pangsa pasar jumlah transaksi tertinggi dalam tiga bulan transaksi, yakni 29% dari total nilai transaksi e-wallet di Indonesia. Sedangkan OVO hanya 27% dari total, kemudian GoPay 22% dari total, Dana 14% dari total, serta LinkAja 7%.

Dari pangsa pasar nilai transaksi, ShopeePay menjadi merek dompet digital yang mencatatkan pangsa pasar nilai transaksi terbesar, yakni 32% dari total nilai transaksi dompet digital di Indonesia, disusul oleh OVO 25% dari total, GoPay 21% dari total, DANA 14% dari total, dan LinkAja 8%.

"Dari hasil survei, ShopeePay banyak memberikan kemudahan penggunaan dan menawarkan banyak promosi," ungkap Yanti Suryati, Marketing Communications Ipsos, ke KONTAN.

Survei Ipsos itu selaras dengan hasil survei yang digelar Neurosensum. Survei dilakukan Neurosensum terhadap 1.000 responden pengguna aktif e-commerce berusia produktif (19–45 tahun) secara serentak di 8 kota besar di Indonesia. Yaitu, kawasan Jabodetabek, kota-kota besar di Pulau Jawa, serta kota besar lainnya di Indonesia, selama November 2020–Januari 2021.

Berdasarkan survei Neurosensum, kemudahan bertransaksi digital, dan akselerasi penggunaan dompet digital untuk pembayaran non-fisik,  membuat ShopeePay sukses menduduki tahta juara dengan pangsa pasar jumlah transaksi tertinggi atau 29% dari total transaksi, diikuti OVO (25% dari total), GoPay (21% dari total), DANA (20% dari total), dan LinkAja (6% dari total).

Kesuksesan ShopeePay dalam menduduki posisi puncak dompet digital, dengan penggunaan paling banyak, merupakan hasil dari strategi perusahaan dalam menggenjot beraram promosi yang menggiurkan konsumen.

kontan