Tak ada Pertandingan, Pemain Bola Mencari Penghasilan dari Berdagang

ILUSTRASI. A vendor prepares soccer shoes for sale inside a stall at a market in Jakarta, Indonesia, April 23, 2019. REUTERS/Willy Kurniawan. Minggu, 07 Maret 2021 | 08:16 WIB

Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri

KONTAN.CO.ID - Suara parau terdengar jelas di ujung telepon. Itulah suara Bayu Gatra, pemain tim nasional sepakbola Indonesia yang juga berlaga untuk Persatuan Sepakbola Makassar (PSM) Makassar. Kepada KONTAN, Bayu bercerita tentang kondisinya dan pemain sepakbola lain, yang tak bisa bermain bola karena turnamen sepakbola dilarang selama pandemi Covid-19.

Apa yang dialami Bayu itu tak hanya menimpa pemain sepakbola Liga 1 saja, hal yang sama juga menimpa pemain sepak bola dari Liga 2. Meningkatnya kasus pandemi Covid-19 membuat profesi pemain bola tak bisa lagi menggiring bola ke kandang lawan. Karena tak ada pertandingan, aktivitas kami juga tidak ada, kata Bayu, yang tercatat sejarah pernah membobol gawang Timnas Malaysia pada tahun 2013 silam.

Yang jelas, imbas dari ketiadaan pertandingan berdampak ke pendapatan para pemain sepakbola. Sebab, sumber pendapatan dari pemain bola berasal dari sponsor dan tiket masuk saat pertandingan berlangsung. Karena pertandingan tidak ada, tentu saja klub tidak memiliki penghasilan.

Kondisi ini membuat manajemen klub sulit membayar gaji pemain. Ada pemain yang tak menerima gaji dan memilih hengkang ke klub lain atau mencari profesi lain. "Banyak pemain yang bertahan saat ini hanya mengandalkan bayaran 25% dari kontrak," jelas Bayu.

Bayu terbilang cukup beruntung jika dibandingkan teman-temannya. Soalnya, Bayu memiliki bisnis penjualan sepatu merek Ortuseight yang dipasarkan lewat media sosial dan marketplace. Tak hanya itu, pendapatan Bayu ditopang usaha sang istri yang menjalankan bisnis kosmetika.

Dua aktivitas bisnis itulah yang kini menghidupi Bayu, dan keluarganya. Meski terbilang pernah menorehkan prestasi di sepakbola, Bayu kini menggantungkan kehidupannya dari aktivitas bisnis. Lebih lagi, Sampai sekarang belum ada kejelasan nasib kontrak kami di klub, kata Bayu.

Tak semua pemain bola punya penghasilan dari bisnis keluarga. Menurut Bayu, banyak pemain bola yang kini linglung mencari sumber pendapatan. Di antara mereka, ada yang sudah menjual aset, baik itu mobil dan sepeda motor. Banyak pemain bola yang banting setir berjualan nasi juga, berdaganglah, kata Bayu. Tak heran jika kini, ia mengkhawatirkan masa depan para pemain sepakbola tersebut.

Kondisi memprihatinkan pemain bola itu hampir terjadi di semua klub di Indonesia. Apa daya, klub bola tak bisa berbuat banyak karena mereka juga tak punya pemasukan selama pertandingan dilarang. "Sumber pendapatan klub bola berasal dari sponsor, tiket, merchandise dan bagi hasil hak siar pertandingan di televisi. Itu semua gak ada lagi, sejak Covid-19" jelas Eko Rahmawanto, Direktur Media Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

Di sisi lain, klub bola harus tetap membayar kontrak para pemain mereka. Pasalnya, pembayaran kontrak merupakan aturan baku dari FIFA (The Fdration Internationale de Football Association (FIFA). Maka itulah, PSSI berusaha mengambil jalan tengah, yakni mengeluarkan aturan agar klub tetap membayar gaji pemain. "Awalnya kami minta bayar 50%, kemudian turunkan lagi jadi 25%, kata Eko.

Pemotongan gaji pemain merupakan win-win solution agar klub bola bisa bertahan dan pemain sepakbola tetap gajian. Jika klub sepakbola dipaksa membayar gaji atau kontrak pemain sebesar 100%, klub bisa bangkrut dan itu akan bedampak besar lagi ke sepakbola nasional, kata Eko.

kontan