Indeks Manufaktur Melesat, Pemerintah Percaya Diri Ekonomi Bakal Lompat

LUSTRASI. Pekerja beraktivitas di pabrik perakitan mobil. 

Reporter: Havid Vebri | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Senyum sumringah Agus Gumiwang Kartasasmita terus mengembang. Menteri Perindustrian ini optimistis ekonomi RI segera pulih dan bangkit dari keterprukan setelah dihantam pandemi virus korona (Covid-19).

Sebagai menteri yang menggawangi bidang perindustrian, optimisme Agus didasarkan pada kinerja sektor manufaktur yang belakangan makin menunjukkan tajinya. Hal itu tercermin dari tren kenaikan indeks manufaktur atau Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia yang dirilis IHS Markit. Angkanya mencapai 53,2 poin Maret lalu.

Angka tersebut meningkat sebesar 2,3 poin ketimbang Februari 2021 yang sebesar 50,9. Peningkatan PMI manufaktur Maret 2021 menjadi yang tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sejak survei ini dimulai pada April 2011.

Agus menyebut, angka PMI berada dalam tren yang menggembirakan dan menjadi penanda bisnis manufaktur berekspansi. Meningkatnya aktivitas manufakur itu diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2021.

"Kenaikan yang sangat signifikan ini menunjukkan bahwa rebound-nya ekonomi Indonesia akan semakin cepat," ungkapnya.

PMI menjadi salah satu alat untuk melihat kondisi manufaktur. Jika suatu negara memiliki nilai PMI di atas 50, maka bisa dikatakan industri manufaktur di negara bersangkutan tengah tumbuh atau ekspansi.

Sebaliknya, apabila PMI di bawah 50, maka ada indikasi industri manufaktur sedang mengurangi produksi, dan ekspansi juga terbilang minim.

Agus mengklaim, tren positif itu tak lepas dari peran pemerintah yang selama pandemi ini telah berusaha membangkitkan gairah pelaku usaha, baik itu melalui kebijakan maupun stimulus fiskal.

Salah satunya melalui insentif fiskal berupa penurunan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) untuk kendaraan bermotor.

Kebijakan ini terbukti sukses mengerek penjualan kendaraan roda empat dengan kapasitas mesin sampai 1.500 cc. Hingga akhir Maret 2021, terjadi peningkatan penjualan cukup signifikan, yaitu sekitar 140% dari penjualan bulan Februari 2021.

"Kebijakan PPnBM itu telah meningkatkan kepercayaan diri para pelaku industri dan mendorong daya beli masyarakat," ujar Agus.

Peningkatan konsumsi

Optimisme serupa juga datang dari Menteri Keuangan Si Mulyani. Ia mengakui, pulihnya kinerja manufaktur menjadi salah satu indikator membaiknya perekonomian di tengah akselerasi program vaksinasi yang semakin meluas.

Pasalnya, geliat manufaktur tersebut menandakan adanya pemulihan konsumsi masyarakat yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi. Hal itu tercermin dari penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri yang menunjukkan tren peningkatan sejak Februari lalu.

Data Anggaran Pendatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan, realisasi penerimaan PPN hingga akhir Februari 2021 mencapai Rp 59,1 triliun. Secara bulanan, penerimaan PPN tersebut tumbuh hingga 41,32%, sedangkan pada Januari 2021 masih minus 17,08%.

Membaiknya kinerja PPN dalam negeri itu dipicu membaiknya konsumsi masyarakat setelah tertekan akibat pandemi Covid-19. Kita berharap penerimaan PPN terus membaik karena sangat menunjukkan kinerja konsumsi masyarakat, ujar Sri Mulyani.

Nah, melihat kinerja industri pengolahan yang mulai bangkit, ia pun optimistis penerimaan PPN dibulan Maret masih akan melanjutkan penguatan. Sebab,kata Menkeu, pemulihan penerimaan PPN dalam negeri berkaitan erat dengan tren industri pengolahan.

Tentu bukan saja perbaikan manufaktur dan konsumsi yang menjadi indikator pemulihan ekonomi. Tren peningkatan investasi dan ekspor juga turut membangun rasa percaya diri Sri Mulyani dalam menatap prospek ekonomi tahun ini.

Hal ini sejalan dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat laju ekspor Indonesia tembus di angka US$ 15,27 miliar per Februari 2021. Nilai ekspor itu tumbuh 8,56% dibandingkan dengan posisi tahun lalu atau year on year (yoy).

Di sisi lain, impor barang modal juga tercatat naik 17,68% yoy. Naiknya impor barang modal ini dinilai sejalan dengan meningkatnya produktivitas industri dalam negeri.

Dengan pulihnya kepercayaan konsumen dan manufaktur, maka dengan sendirinya investasi juga akan terus meningkat. Dengan aktifnya tiga mesin pertumbuhan tersebut, APBN tidak lagi bekerja sendiri seperti tahun 2020, bebernya.

Lantaran arah pemulihan baru terlihat di bulan Februari, terutama di awal Maret, pertumbuhan positif belum akan terjadi di kuartal I 2021. Diprediksi pertumbuhan kuartal I masih terkoreksi di kisaran -1% hingga 0,1%.

Meskipun masih minus, namun angkanya terus membaik dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal IV tahun 2020 yangmencapai -2,19%.

Baru memasuki kuartal II ini ekonomi diyakini mulai memasuki zona positif. Tidak tanggung-tanggung, Kementerian Keuangan (Kemkeu) memperkirakan, perekonomian Indonesia di kuartal II ini bisa tumbuh di kisaran 7%-8% yoy.

Ini didukung oleh pemulihan aktivitas ekonomi yang semakin cepat di berbagai komponen pertumbuhan ekonomi, baik dari sisi pengeluaran maupun sektor produksinya, ujar Hidayat Amir, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu.

Upaya recovery

Selain itu, progres program vaksinasi yang berjalan cukup baik juga akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Nah, untuk menopang momentum pertumbuhan, pemerintah akan terus menggenjot program pemulihan ekonomi nasional (PEN) di kuartal II ini agar akselerasi pertumbuhan bisa tetap terjaga.

Beda dengan tahun lalu, dimana belanja pemerintah berfokus pada penanganan Covid-19, perlindungan masyarakat miskin dan rentan, serta menjaga dunia usaha dari kebangkrutan massal dan PHK besar-besaran. Tahun ini fokus PEN akan diakselerasi untuk menjaga ritme pemulihan ekonomi.

Antara lain melalui peningkatan belanja kesehatan seiring dengan masifnya program vaksinasi dan pengendalian wabah. Sementara program perlindungan sosial akan difokuskan pada penciptaan lapangan pekerjaan.

Ini menyusul banyaknya PHK di tahun lalu, sehingga penciptaan lapangan pekerjaan menjadi prioritas. Jadi fokusnya sudah tidak lagi survival, tetapi recovery dan menciptakan lapangan kerja, ungkap Amir.

Program recovery ekonomi dan penciptaan lapangan kerja itu salah satunya difokuskan pada penguatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan korporasi, yang mendapat alokasi anggaran dalam program PEN senilai Rp 186,81 triliun.

Anggaran itu lebih tinggi dibanding dengan alokasi tahun lalu yang hanya Rp 173,17 triliun. Khusus untuk stimulus UMKM saja, nilai keseluruhan tahun ini mencapai Rp 122 triliun, juga meningkat dibanding dengan tahun lalu yang sebesar Rp 112 triliun.

Anggaran sebesar itu terdiri dari subsidi bunga UMKM sebesar Rp 31,95 triliun, bantuan produktif usaha mikro (BPUM) sebesar Rp 17,34 triliun, subsidi imbal jasa penjaminan (IJP) Rp 8,51 triliun, penempatan dana pemerintah di perbankan untuk dukungan UMKM Rp 66,99 triliun, dan dukungan lainnya Rp 3,27 triliun.

Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Raden Pardede, menyatakan, UMKM jadi fokus pemulihan ekonomi karena sektor ini menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, UMKM juga berperan sentral dalam perekonomian Indonesia.

Sayangnya, kontribusi UMKM terhadap ekspor nasional masih berada di level 15%, sehingga perlu ditingkatkan. Karenanya, pemanfaatan teknologi digital di kalangan pelaku UMKM perlu terus digencarkan.

Terlebih di masa pandemi ini transformasi digital menjadi keharusan bukan pilihan lagi, sehingga UMKM harus mampu beradaptasi, bertransformasi, dan mengadopsi digitalisasi.

"Pemulihan sedang diusahakan terjadi, tetapi pemulihan saja tidak cukup karena telah terjadi perubahan atau disrupsi akibat pandemi," ujar Raden.

Pemerintah, menurut dia, terus memfasilitasi upaya itu dengan mempercepat pembangunan infrastruktur digital sekaligus mendorong peningkatan pemahaman masyarakat untuk memastikan layanan digital menjadi inklusif.

Bukan saja buat pelaku usaha, stimulus untuk belanja masyarakat juga terus digelontorkan mengingat belanja masyarakat menyumbang 57,7% dari PDB. Selain relaksasi PPnBM pembelian mobil baru, pemerintah juga telah memberikan relaksasi PPN atas sektor properti.

Tentu tidak saja berkutat di sektor ekonomi, penanganan pandeminya sendiri juga tetap menjadi fokus utama pemerintah saat ini. Yakni, dengan mempercepat vaksinasi kepada 182 juta penduduk yang ditargetkan tuntas akhir tahun ini.

Sehingga, tidak hanya dari sisi stimulusnya dikerjakan, tapi dari sisi pengendalian pandemic dilakukan dengan baik, sehingga pemulihan ekonomi bisa terjadi.

Tidak realistis

Kendati sudah menyiapkan banyak program recovery ekonomi dan kesehatan, target pertumbuhan ekonomi 7%-8% di kuatal II ini tetap dinilai tidak realistis, karena hanya mendasarkan indikator PMI manufaktur semata.

Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef), menyebut, PMI Manufaktur hanya menginput antara input dan output industri manufaktur yang mengalami kenaikan. Namun, tidak mencerminkan apakah kapasitas industri tersebut sudah normal atau belum.

Bila datanya menunjukkan bahwa utilisasi sektor industri sudah mencapai 80%, baru pemerintah bisa senang. Sedangkan PMI Manufaktur tidak menggambarkan hal tersebut. Selain itu, sumbangan sektor industri terhadap PDB hanya berkisar 19%, sehingga kendati membaik, kondisi riilnya belum bisa dipastikan di lapangan.

Terlebih ia juga meragukan klaim pemerintah yang menyebut konsumsi masarakat mulai meningkat. Sebab, masih rendahnya inflasi Maret 2021 yang berada di kisaran 0,08% (mom) atau 1,37% (yoy) merupakan cerminan masih rendahnya daya beli masyarakat.

Pun menjelang bulan Ramadan dan Idul Fitri juga hanya dinikmati beberapa sektor saja, seperti makanan dan minuman, perhotelan, restoran, dan akomodasi.

Oleh karena itu, kalau pun terjadi pertumbuhan di kuartal II bukan disebabkan pulihnya permintaan, tetapi perbandingan pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang minus 5%. "Kuartal II ini memang akan positif, tapi jelas akan jauh dibawah 7%," ujar Tauhid.

Untuk membangkitkan ekonomi dan mendorong inflasi diperlukan upaya meningkatkan optimisme masyarakat untuk melakukan konsumsi dan kembali berproduksi. Kondisi ini bisa diatasi terutama melalui penanganan kesehatan.

Sementara itu, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, melihat peningkatan PMI manufaktur tak lepas dari stimulus PPnBM yang dikeluarkan pemerintah. Selain itu, mulai percaya dirinya golongan menengah untuk kembali membelanjakan uangnya juga menjadi faktor kunci.

Apalagi momentum Ramadan dan Lebaran akan mendongkrak permintaan, sehingga peningkatan PMI manufaktur bisa menjadi indikasi awal pemulihan ekonomi.

Namun, bila dilihat per sekor usaha, jelas peningkatan PMI tidak mencerminkan kinerja industri secara kseluruhan. Sehingga perlu kebijakan lanjutan ditengah masa transisi dan pemulihan ekonomi saat ini, jelas Yusuf.

Kondisi yang dialami industri tekstil seolah memperkuat pendapat dua ekonom tersebut. Rizal Tanzil Rakhman, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menyebut, aktivitas produksi di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masih lemah.

Ia bahkan, menyebut produksi di kuartal I tahun 2021 justu menurun karena ada adjustment harga bahan baku, sehingga pasar tidak menyerap produk tekstil dengan cepat.

Di tambah daya beli masyarakat terhadap produk tekstil masih cukup rendah. Terbukti, biasanya menjelang Lebaran produksi bisa berlipat-lipat. "Kenyataanya sekarang tidak naik signifikan," ujar Rizal.

Ia pun menduga peningkatan PMI manufaktur lebih didorong oleh manufaktur otomotif dan kesehatan yang memang sedang tumbuh.

kontan