The Fed Beri Sinyal 'Menakutkan' di Semester II, waspada!

 

Jakarta, Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed sesuai dengan prediksi pelaku pasar mempertahankan kebijakan moneternya Kamis (29/4/2021) dini hari waktu Indonesia.

Pasar pun menyambut baik, bursa saham Asia termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menghijau hari ini, rupiah juga menguat tajam. Tetapi di semester II-2021 kemungkinan akan beda ceritanya. 

Dalam pengumuman dini hari tadi, The Fed memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 0,25% serta program pembelian obligasi (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. Suku bunga The Fed baru akan dinaikkan setidaknya di tahun 2023.

The Fed juga mengakui pertumbuhan ekonomi serta inflasi lebih tinggi dari prediksi sebelumnya yang dipengaruhi program vaksinasi serta dukungan kebijakan moneter dan fiskal.

"Di tengah kemajuan program vaksinasi serta dukungan kebijakan yang kuat, indikator perekonomian serta tenaga kerja telah menunjukkan penguatan," tulis komite pembuat kebijakan The Fed (FOMC).
Banyak ekonom, termasuk The Fed memperkirakan produk domestik bruto (PDB) di tahun ini akan menjadi yang terbaik sejak tahun 1984.

Tetapi, hal tersebut dinilai hanya sementara, dan masih belum merata sehingga kebijakan moneter ultra longgar masih diperlukan.
"Pemulihan ekonomi masih belum merata dan masih jauh dari kata selesai. Inflasi dalam beberapa bulan ke depan akan tinggi, tetapi kenaikan tersebut cenderung memiliki efek sementara" kata ketua The Fed, Jerome Powell dalam konferensi pers sebagaimana dikutip CNBC International, Kamis (29/4/2021).

Powell sekali lagi menegaskan saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan pengetatan moneter, termasuk pengurangan nilai QE.
"Kita masih memerlukan waktu beberapa lama untuk bisa melihat kemajuan pemulihan ekonomi yang substansial," tambah Powell.

David Mericle ekonom di Goldman Sachs mengatakan ia melihat The Fed baru akan memberikan petunjuk pengurangan QE atau yang dikenal dengan istilah tapering pada semester II tahun ini.

Melansir CNBC International, Mericle melihat The Fed akan mulai melakukan tapering pada awal 2022, dengan pengurangan sebesar US$ 15 per bulan.

Tapering The Fed merupakan hal yang ditakutkan investor sebab bisa memicu gejolak di pasar finansial, yang disebut taper tantrum. Tapering pernah terjadi pada periode 2013-2015.
Krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008 membuat The Fed menerapkan QE dalam 3 tahap.

QE 1 dilakukan mulai November 2008, kemudian QE 2 mulai November 2010, dan QE 3 pada September 2012. Nilainya pun berbeda-beda, saat QE 1 The Fed membeli efek beragun senilai US$ 600 miliar, kemudian QE 2 juga sama senilai US$ 600 miliar tetapi kali ini yang dibeli adalah obligasi pemerintah (Treasury) AS.

QE 3 berbeda, The fed mengumumkan pembelian kedua aset tersebut senilai US$ 40 miliar per bulan, kemudian dinaikkan menjadi US$ 85 miliar per bulan.

Pada Juni 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana tapering QE. Sejak pengumuman tersebut hingga Agustus 2013 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok hingga lebih dari 17%.

Selama periode tapering tersebut, rupiah yang paling menderita.


Dolar AS vs Rupiah (2013-2015)


The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.

Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015 saat suku bunga acuan akhirnya dinaikkan 25 basis poin menjadi 0,5%. Setelahnya, The Fed mempertahankan suku bunga tersebut selama 1 tahun, penguatan indeks dolar pun mereda.

Rupiah menjadi korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.