Kisah Sukses Dede di Bisnis Pertanian, Kantongi Miliaran Rupiah dari Labu Acar

Minggu, 18 April 2021 | 16:05 WIB


Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Siapa bilang menjadi petani tidak bisa sukses? Dulu, boleh jadi profesi petani dinilai tidak memiliki masa depan cerah. Namun, anggapan itu rasanya sudah kurang relevan dengan kondisi sekarang. Terbukti, sekarang banyak orang yang sukses dari bertani.

Salah satunya adalah Dede Koswara, pemuda asal Ciwidey, Kabupaten Bandung ini berhasil mengembangkan labu acar hingga menjadi miliuner.

Dibesarkan dari keluarga petani, Dede sejak kecil sudah berkeinginan melanjutkan usaha sang ayah di bidang pertanian. Apalagi ia memang tidak ingin menjadi karyawan dan disuruh-suruh oleh orang lain.

Keinginan itu juga tidak luntur setelah Dede menamatkan bangku sekolah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Mesin di tahun 2008.

Lulus SMK, Dede sebenarnya sempat ditawari kuliah oleh orangtuanya. Namun ia menolak karena beranggapan kalau kuliah bakal dituntut bekerja kantoran oleh orangtuanya.

"Saat itu ada peluang kuliah, tapi saya tidak ambil karena sudah bulat ingin menjadi pengusaha sekaligus petani sayuran," kenangnya.

Dia beranggapan profesi ini bukan pekerjaan receh. Baginya, petani punya peranan penting untuk kemaslahatan hidup orang banyak. Terutama jika mengetahui manfaat yang ditimbulkan dari produk-produk pertanian.

Dede pun merayu orangtuanya agar mau mempercayakan sebidang tanah pertanian untuk ia garap. Akhirnya ia pun memperoleh tanah seluas 1.400 meter persegi (m2) atau sekitar 100 tumbak di tahun 2010.

Awalnya ia tidak langsung menanam labu acar atau labu siam. Di tanah pemberian orang tuanya itu ia memilih menanam tomat sambil mempelajari segala sesuatu terkait tanaman lewat internet.

Ia juga tidak segan menjadi supir angkut sayuran dari kampungnya ke berbagai kota, khususnya Bandung dan Tangerang dengan menggunakan mobil pick up. Dari situ ia belajar langsung bagaimana proses distribusi komoditas.

Dede benar-benar mendalami pengetahuan di bidang pertanian. Ia tak sekadar bertani, lalu panen dan menjualnya ke tengkulak dengan harga jual pas-pasan.

Ayah dua orang anak ini tak puas hanya menanam dan memasarkan tomat, cabai, dan jagung. Ia merasa harus menanam dan memasarkan lebih banyak lagi komoditas, agar tak kesusahan kalau ada satu komoditas yang harganya anjlok.

Membuat koneksi di dunia maya, Dede juga aktif membangun koneksinya dengan para pelaku pertanian dan perdagangan dengan mengikuti seminar, pertemuan dan bergabung di grup Facebook. Relasi yang dibangun itu membuka peluang buat Dede untuk memasarkan produknya secara luas.

Ia menekuni langkah ini selama sekitar lima tahun dan berkat kegigihannya, ia mampu memperluas lahan pertaniannya menjadi 300 tumbak atau sekitar 4.200 m2. "Saat itu omzet saya sudah lumayan, sekitar Rp 30 juta per bulan," ujarnya.

Namun usahanya sempat menurun drastis ketika terjadi gagal panen. Hampir saja Dede berutang kepada rentenir. Beruntung, ia mengurungkan niatnya dan memilih untuk mengatur kembali manajemen usahanya dan mencoba mencari pinjaman dari rekan.

Saat sedang mengalami masa sulit, maka suatu ketika di tahun 2016, seorang pedagang di Tangerang meminta Dede untuk mengirimkan labu siam. Sayuran yang di Jawa Barat disebut labu acar itu ternyata cukup tinggi permintaannya. Ia memperolah pesanan tersebut dari salah satu anggota Facebook Grup.

Meskipun tak mempunyai stok labu acar di lahannya, Dede memenuhi permintaan tersebut. Ia menghubungi kolega-kolega petani di desanya yang menanam labu acar dan mengumpulkan hasil panen mereka. Alhasil, hanya terkumpul 10 ton per hari, padahal kebutuhannya bisa mencapai 30 hingga 40 ton.

Berawal dari situ, Dede berinisiatif untuk menanam labu di lahannya. Sayuran yang biasa dijadikan lalapan ini ternyata menghasilkan untung besar buatnya. Namun, modal tanamnya juga lumayan besar. Biaya menanam labu bisa mencapai Rp 15 juta untuk setiap 1.400 meter persegi.

Modal tersebut mencakup biaya garap lahan, bibit, serta paranggong atau deretan bambu tempat merambatnya pohon labu."Setelah empat bulan tanam labu bisa panen setiap dua hari sekali," ungkap pria kelahiran tahun 1989 tersebut.

Dede bilang, budidaya labu siam tidak terlalu rumit, namun butuh ketelatenan. Langkah pertama yakni menyiapkan paranggong, baru setelah itu menanam bibit dan diberi pupuk.

Ia juga mengingatkan bahwa labu harus terjamin pasokan airnya secara terus menerus. Sehingga paling bagus kalau menanamnya di jalur irigasi, jadi walaupun kemarau ada terus airnya.

Membentuk gapoktan

Selain memanen dan memasarkan labu dari lahan pribadi, Dede terus mengumpulkan labu dari petani desa yang sudah diakomodir oleh para pengepul. Dede juga membentuk Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Reggeneration (Regge) untuk mengakomodir aktivitas para petani dan pengepul.

Total anggotanya kini sudah mencapai 2.100 orang. Dede mengaku, Gapoktan ini ia buat agar harga beli semakin transparan. Gapoktan Regge ini menerapkan transparansi harga beli dari petani ke pengepul hingga harga jual ke pasar.

"Jadi tidak ada lagi oknum yang beli dengan harga seenaknya," tegas Dede.

Setiap harinya, Dede bisa membeli 20 ton-40 ton labu dari para pengepul. Ditambah hasil dari lahan miliknya sekitar 35 ton. Labu sebanyak itu dijual ke beberapa pasar di Cirebon, Tangerang dan Bogor.

Dari aktivitas pemasaran labu itu, Dede bisa mendapatkan omzet Rp 30 juta-60 juta per hari. Alhasil, ia mampu mengumpulkan minimal Rp 1,2 miliar saban bulannya.

Keberhasilan Dede juga tidak lepas dari inovasinya mempercepat dan menambah produksi labu. Semua ia dapatkan dari belajar lewat internet dan juga berkonsultasi dengan pakar pertanian di beberapa kota. "Semua lewat dunia maya," ujarnya.

Bahkan sejak dua tahun lalu, produknya sudah sampai di beberapa kota besar di Jawa dan Sumatera. Dede mengaku, terbantu dengan adanya media sosial (medsos) dan juga marketplace. Untuk penjualan saat ini ia mengaku kontribusi penjualan lewat online maupun offline berimbang 50%.

Tak puas hanya untuk kepentingan pribadi, Dede pun berupaya bagaimana kesuksesannya ini bisa dirasakan oleh orang lain terutama masyarakat di kampungnya. Ia pun merangkul anak-anak muda di sekitar kampungnya untuk ikut membudidayakan labu acar.

Awalnya hanya ada 15 hingga 25 anak yang bergabung dengannya, tetapi jumlah tersebut semakin bertambah menjadi 50 orang seiring dengan meningkatnya produksi labu acar di Ciwidey. Semua pemuda ia ajak, mulai dari supir, anak putus sekolah hingga pekerja bangunan.

Ia pun berhasil mengubah persepsi anak muda di kampungnya. Sebelumnya, petani identik dengan cangkul dan tanah, kini jadi petani sukses dengan omzet menggiurkan.

Dede juga menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan di Gapoktan yang dipakai kalau misalnya harga sayuran anjlok dan untuk menstabilkan harga. Dari uang itu juga anggota Gapoktan bisa jalan-jalan dan membuat acara sosial, seperti qurban dan sunatan massal.

Setelah ia mengawali, kini banyak petani tertarik ikutan program Dede. Mereka pun sepakat menyisihkan Rp 100.000 per orang setiap bulannya.

Sebelumnya, banyak orang yang menganggap Dede dahulu beruntung karena ada bantuan modal dari orangtuanya berupa lahan. Namun, nyatanya bantuan tersebut bukanlah sepenuhnya kunci sukses Dede.

Ia tetap memulai semuanya dari nol. "Banyak juga yang dikasih lahan, tapi tak bisa mengelola dan akhirnya tidak berjalan," ungkapnya.

Dari hanya ditemani 2 orang pegawai, mencoba bertukar pikiran dengan petani, kemudian menerapkan hasil diskusi itu ke lahan pertaniannya. Kini karyawan langsung Dede sudah ada 10 orang.

Tahun 2020 silam, ia dan Gapoktannya dipercaya Bank BRI dalam program inkubator. Mendapat kucuran modal sebesar Rp 500 juta, Gapoktannya akan membangun Demonstration Plot (demplot) Green House Paprika.

Paprika menjanjikan karena di area Pasirjambu, Ciwidey masih jarang. Demplot paprika ini bisa untuk pengembangan dari labu acar. Jadi kalau penjualan berkurang, pilihannya bisa ke paprika. Walaupun artinya petani atau kelompok mereka harus belajar lagi.

Kini, Dede sudah menikmati buah perjuangannya dari jerih payah bertani labu. Berbekal lahan 100 tumbak, kini ia berhasil membangun rumah megah seharga Rp 2,5 miliar.

Dede menjadikan rumahnya itu sebagai tempat bongkar muat labu dan produk pertanian lainnya dari para petani. Saban sore, truk-truk engkel yang sudah dipenuhi aneka sayur-mayur diberangkatkan ke tujuan masing-masing, seperti Cirebon, Tangerang, dan Bogor.

kontan