Mewujudkan Mimpi Punya SPBU Sendiri
Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Dikky Setiawan
KONTAN.CO.ID -PT Pertamina (Persero) semakin gencar menawarkan kemitraan pompa bensin mini Pertashop untuk pengusaha di desa-desa seluruh Indonesia. Menarikkah?
JAKARTA. Bisnis stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) resmi kini tidak hanya bisa dimiliki oleh pengusaha bermodal besar. Dua tahun terakhir, mulai bermunculan berbagai tawaran kemitraan dengan modal skala menengah. Cukup membeli lisensi, kita sudah bisa menjadi penyalur bahan bakar minyak (BBM).
Tawaran itu pun datang dari PT Pertamina (Persero). Tak hanya menawarkan kerjasama SPBU reguler, sejak Februari 2020, perusahaan negara di bidang migas ini rupanya mulai masif memperkenalkan konsep SPBU mini Pertashop.
Peluang ini terbuka bagi mereka yang sudah memiliki badan hukum. Entah itu sebagai perseroan terbatas (PT), persekutuan komanditer (CV), koperasi, ataupun badan usaha milik desa (bumdes).
Tapi Pertashop tidak dirancang untuk kalangan perorangan. Minimal, yang bersangkutan harus punya legalitas usaha, agar dari sisi permodalan jauh lebih bagus dan perpajakannya lebih mudah. "Kami juga lebih mudah untuk melakukan pengawasan," ujarnya.
Pada dasarnya, Pertashop memang dibuat untuk memberdayakan ekonomi desa, sehingga target mitra yang diincar adalah masyarakat yang berada di kawasan sub-urban. Targetnya ada 1 outlet di setiap desa.
Pramono memastikan, Pertashop ini tidak akan bersaing dengan pompa bensin yang sudah ada. Justru keberadaanya untuk menjangkau daerah yang belum tersentuh akses SPBU Pertamina.
Dari sisi layanan, produk yang dijual Pertashop juga berbeda. Mitra hanya bisa menjual Pertamax dan LPG non-subsidi 5,5 kg. "Kami ingin mengedukasi masyarakat untuk menggunakan kualitas lebih baik," terangnya.
Meski produk BBM non-subsidi itu notabene harganya lebih mahal, tapi Pramono mengklaim bahwa saat ini produk Pertashop tetap diminati masyarakat. Pasalnya, harga BBM non-subsidi yang dijual sama dengan harga di SPBU reguler.
Perhitungan Pertamina, mitra Pertashop akan bisa balik modal setelah 3 tahun dengan omzet minimal 400 liter per hari. Nah, bila dalam perjalanannya jika penjualan yang dihasilkan kurang memuaskan, manajemen akan melakukan pembinaan. Ada proses evaluasi untuk mencari tahu apa penyebabnya, lalu akan dibantu melakukan promosi.
Kalaupun hasil evaluasi itu menunjukkan lokasi yang dipilih kurang bagus, Pertamina juga memberi kesempatan untuk pindah ke lokasi baru. "Namun kita akan mengkaji dulu, jangan sampai pindahnya mendekati Pertashop atau SPBU lain," timpalnya.
Sekarang sudah terdapat lebih dari 1.000 Pertashop di seluruh Indonesia. Dominasinya masih cukup banyak di Pulau Jawa; disusul Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Sampai akhir tahun 2021 diharapkan jumlahnya bisa mencapai 10.000 outlet.
Bisa menjadi SPBU
Meski Pertashop merupakan SPBU mini, tetapi terbuka kemungkinan untuk diperbesar menjadi SPBU reguler. Pengalaman Pertamina sendiri, sudah banyak SPBU mini yang sudah berubah menjadi SPBUreguler. Biasanya kalau sudah berhasil menciptakan pasar yang bagus, ada peluang untuk dinaikkan skala bisnisnya.
Hanya, kembali lagi ini bergantung pada intuisi pengusaha itu sendiri. Kalau pemiliknya merasa mampu, bisa saja mengajukan permohonan perluasan. Jika memenuhi syarat permohonan, akan dikabulkan.
Salah satu mitra yang sedang berusaha mengembangkan konsep seperti ini adalah Whari Prihartono. Walaupun memiliki tanah yang luas, akan tetapi ia lebih memilih menjadi mitra Pertashop lebih dulu. Kini, Whari sudah mempunyai 4 outlet Pertashop. Lokasinya, 3 gerai di Tangerang dan 1 gerai di daerah Jawa Tengah.
Ia yakin, dengan lokasi strategis, nanti gerai Pertashop miliknya bisa dikembangkan menjadi SPBU reguler. Apalagi secara luasan juga memungkinkan. "Kalau cuma Pertashop kecil gitu, buat apa? Tanah saya di lokasi tersebut sekitar 3.000 meter persegi," bebernya.
Karena itulah, jenis lisensi yang dibelinya juga yang paling kecil, yaitu paket gold. Whari bilang, kalau tujuannya untuk dikembangkan menjadi SPBU, buat apa membeli yang besar dengan fasilitas lengkap? Yang penting bagaimana membangun trafik terlebih dulu sebelum akhirnya dirubah menjadi SPBU.
Sesuai prediksinya, 4 outlet yang dibangunnya 9 bulan lalu itu kini kinerjanya cukup memuaskan. Outlet pertama dan kedua sudah mampu menjual lebih dari 1.000 liter per hari, outlet ketiga sekitar 550 l–600 l per hari dan outlet keempat 350 l–400 l per hari.
Whari bilang, kunci keberhasilan pengembangan Pertashop terletak pada pemilihan lokasi. Bahkan, persetujuan dari manajemen Pertamina juga berdasarkan lokasi yang diajukan calon mitra.
Syaratnya, lokasinya berada di daerah pinggiran yang jauh dengan pompa bensin. "Jual bensin itu beda sama produk lain. Kalau komoditas lain dikasih iklan bisa, kalau bensin tidak perlu, karena orang pasti butuh selama titiknya bagus," ujarnya.
Walaupun bisa menjual LPG dan produk Pertamina lainnya, tetapi untuk saat ini Whari memilih fokus menjual Pertamax saja. Menurutnya, meski di daerah pinggiran, tapi minat masyarakat untuk mengkonsumsi bahan bakar non-subsidi cukup tinggi. Bahkan, meraka sudah enggan untuk membeli premium ataupun pertalite.
Sejauh ini, kendala pengembangan Pertashop terletak pada pengiriman. Pertamina masih sering telat mengirim pasokan. Ketika terlambat, mau tak mau SPBU mini itu terpaksa tutup. Padahal, konsumen sudah mulai terbiasa membeli BBM di tempatnya.
Biasanya sekali kirim untuk satu outlet sebanyak 2.000 liter Pertamax. Biayanya sekitar Rp 16,3 juta setiap pembelian. Ketika penjualannya sudah makin bagus, maka outlet akan makin sering memesan. "Kalau per hari 1.000 liter, bisa dua hari sekali pesannya," cetusnya.
Perhitungan Whari, jika keempat gerai Pertashopnya bisa terus menunjukkan perkembangan positif seperti sekarang, paling tidak hanya dibutuhkan waktu 1 tahun untuk dipugar menjadi SPBU reguler. Selama mampu menjual 500 liter per hari, maka tingkat penguapan bahan bakar bisa diminimalisir dan pemilik pasti bisa menuai untung.
Posting Komentar