Saham, Emas Hingga Bitcoin Jeblok Semua, "Kiamat" Investasi!
Jakarta, Rabu kemarin bisa dikatakan menjadi salah satu hari terburuk bagi para investor, aset-aset berisiko seperti saham hingga aset aman (safe haven) emas rontok, bahkan mata uang kripto yang belakangan ini jadi primadona juga ikut hancur-hancuran. Penyebabnya Cuma satu, rilis data inflasi Amerika Serikat (AS).
Melansir data dari Refinitiv bursa saham AS (Wall Street) ambrol ke level terendah 2 bulan pada perdagangan Rabu (12/5/2021) waktu setempat, indeks Dow Jones minus 2%, sementara S&P 500 dan Nasdaq masing-masing minus 2,14% dan 2,67%.
Indeks S&P 500
Harga emas dunia juga berbalik arah, dari sebelumnya menanjak hingga mencapai level tertinggi 3 bulan, kemarin merosot 1,2% ke US$ 1.815,43/troy ons.
Kemudian bitcoin malah lebih parah lagi, kemarin turun 4% lebih, hari ini malah ambles 17% ke US$ 45.000/BTC yang merupakan level terendah sejak 1 Maret lalu. Mata uang kripto lainnya juga bernasib sama, ethereum hari ini minus 9%, dan ripple merosot lebih dari 10%.
Harga BItcoin (US$/BTC)
Mata uang kripto yang hancur-hancuran pada hari ini terjadi setelah CEO Tesla Elon Musk mengatakan menghentikan pembelian mobil Tesla menggunakan bitcoin. Melalui akun twitter miliknya, Elon menyebutkan alasan penghentian tersebut karena peningkatan bahan bakar fosil yang meningkat karena aktivitas penambangan bitcoin.
Rilis data inflasi AS kemarin yang mencatat kenaikan terbesar dalam 12 tahun terakhir membuat aset-aset tersebut rontok. Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan April melesat atau mengalami inflasi 4,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Rilis tersebut jauh lebih tinggi ketimbang hasil survei Dow Jones sebesar 3,6%.
Sementara dari bulan Maret atau secara month-to-month (mtm) tumbuh 0,8%, juga jauh lebih tinggi dari survei 0,2%.
Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhituangan tumbuh 3% yoy dan 0,9% mtm, lebih dari dari ekspektasi 2,3% yoy dan 0,3% mtm.
Kenaikan inflasi secara tahunan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 2008, sementara secara bulanan terbesar dalam 40 tahun terakhir.
Alhasil data tersebut kembali memunculkan spekulasi bank sentral AS (The Fed) akan mengetatkan kebijakan moneternya lebih cepat dari perkiraan.
The Fed dalam rapat kebijakan moneter bulan April lalu memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 0,25% serta program pembelian obligasi (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. Suku bunga The Fed baru akan dinaikkan setidaknya di tahun 2023.
The Fed juga mengakui pertumbuhan ekonomi serta inflasi lebih tinggi dari prediksi sebelumnya yang disebabkan program vaksinasi serta dukungan kebijakan moneter dan fiskal.
Tetapi, hal tersebut dinilai hanya sementara, dan masih belum merata sehingga kebijakan moneter ultra longgar masih diperlukan. Ketua The Fed Jerome Powell sekali lagi menegaskan saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan pengetatan moneter, termasuk pengurangan nilai QE atau yang dikenal dengan istilah tapering.
David Mericle ekonom di Goldman Sachs mengatakan ia melihat The Fed baru akan memberikan petunjuk pengurangan QE atau yang dikenal dengan istilah tapering pada semester II tahun ini.
Melansir CNBC International, Mericle melihat The Fed akan mulai melakukan tapering pada awal 2022, dengan pengurangan sebesar US$ 15 per bulan.
Selain itu, berdasarkan data dari perangkat FedWatch CME Group, pelaku pasar kini melihat ada peluang sebesar 13% suku bunga akan dinaikkan menjadi 0,5% di bulan Desember nanti. Probabilitas tersebut mengalami kenaikan cukup signifikan, sebab dalam beberapa pekan terakhir masih 1 digit persentase saja. Selain itu ada probabilitas setengah persen suku bunga akan dinaikkan menjadi 0,75%.
Posting Komentar