Ketakutan Jokowi-Sri Mulyani Nyata, Tapi Tak Seseram Itu Kok!

Perekonomian Indonesia diperkirakan akan mendapatkan ancaman nyata tahun depan. Bukan cuma karena pandemi Covid-19, melainkan fenomena taper tantrum.

Kekhawatiran Indonesia kembali mengalami periode taper tantrum sudah dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), hingga garda terdepan penjaga perekonomian Menteri Keuangan dan Bank Indonesia (BI).

Kalangan ekonom saat berbincang dengan CNBC Indonesia tak memungkiri bahwa taper tantrum merupakan sebuah keniscayaan, seiring dengan rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) yang secara perlahan akan mengetatkan kebijakan moneternya


"Memang siklusnya sudah terjadi sejak tahun lalu, siklus kebijakan moneter yang akomodatif," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, Kamis (3/6/2021).

Fenomena taper tantrum pernah terjadi pada periode 2013 - 2015, saat The Federal Reserve (The Fed) mulai menebar ancang-ancang untuk mengerek naik Federal Funds Rate.

Saat krisis keuangan global yang meruntuhkan pasar keuangan Paman Sam, The Fed memberikan stimulus besar-besaran seperti memangkas bunga acuan dan memborong surat berharga untuk kembali menggairahkan ekonomi yang lesu.

Pada 2013, tanda-tanda ekonomi AS pulih terlihat. The Fed kemudian memberikan sinyal bahwa kebijakan ultra longgar akan dihentikan. Namun dua tahun menanti, The Fed justru baru menaikkan bunga pada akhir 2015.

Dua tahun pasar keuangan dunia dilanda kegalauan lantaran ketidakpastian suku bunga acuan AS. Para investor pun mengambil posisi dengan memborong dolar sehingga saat suku bunga naik, mereka bisa meraup untung.

Permintaan dolar AS meroket, dan membuat mata uang lain melemah termasuk rupiah. Bahkan, rupiah yang kala itu berada di kisaran Rp 9.000/US$, menembus level Rp 13.000/US$ pada akhir 2015.

Namun, Josua melihat dampak dari taper tantrum tidak akan sebesar seperti 2013 lalu. Ia juga memperkirakan bank sentral AS masih akan menunggu hingga tahun depan untuk kembali menentukan arah kebijakan.

"Masih terlalu dini, karena ini lebih kepada stimulus yang sudah diberikan Amerika Serikat," jelasnya.

Hal senada turut dikemukakan oleh Ekonom Maybank Myrdal Gunarto. Menurutnya, kemungkinan besar dampak taper tantrum tidak akan sebesar seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Karena saat ini eksposur atau magnitude investor asing di pasar keuangan kita enggak setinggi sebelumnya. Udah keburu kabur dulu gara-gara efek Covid. Jadi kemungkinan efek ini belum akan membuat rupiah melemah tajam," jelasnya.

Sebagai informasi, Mengutip laporan Kementerian Keuangan bertajuk 'Pengaruh Quantitative Easing dan Tapering Off serta Indikator Makroekonomi terhadap Nilai Tukar Rupiah', disebutkan kebijakan pengurangan QE yang dikeluarkan oleh The Fed pada 2013, terbukti memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.

Dalam laporan tersebut kemudian, mengharapkan agar Bank Indonesia (BI) selaku pengambil alih kebijakan moneter bisa mengatasi dampak negatif dari risiko kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Sentral di Amerika Serikat.

"Diharapkan Bank Indonesia dapat mempertahankan keberhasilannya dalam mengatasi dampak negatif dari salah satu jenis kebijakan moneter non konvensional, baik melalui kebijakan suku bunga ataupun kebijakan makroprudensial yang efektif."

"Hal ini dikarenakan seiring dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya kecepatan pertukaran informasi, membuat kebijakan moneter non konvensional semakin berkembang dan menghasilkan berbagai jenis kebijakan baru," tulis laporan Kemenkeu dikutip CNBC Indonesia.

Selain melemahnya rupiah kala itu, pada bulan Juli 2013, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tumbang sangat dalam. Bahkan saat itu IHSG jatuh lebih dari 20%, atau sudah memasuki fase /bearish/(turun).

Salah satu penyebab dari tumbangnya IHSG kala itu juga berasal dari rencana the Fed mengurangi stimulus. Keinginan the Fed mengurangi stimulus telah membuat dana asing yang parkir di Indonesia ramai-ramai keluar dari Indonesia.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang tahun 2013 saat itu, investor asing yang mencatatkan net sell asing di pasar saham sebesar Rp 15,29 triliun. Nilai dana asing yang keluar itu hampir sama dengan nilai dana asing yang masuk tahun 2012, sebesar Rp 15,2 triliun.