Simak Janji Reformasi Pajak dari Pemerintah

Sabtu, 05 Juni 2021 | 05:45 WIB


Reporter: Bidara Pink, Siti Masitoh, Yusuf Imam Santoso | Editor: Markus Sumartomjon

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inilah janji reformasi perpajakan yang akan digotong pemerintah. Selain mendongkrak setoran pajak, agenda reformasi pajak juga digadang-gadang bisa memacu kepatuhan wajib pajak serta memperluas basis pajak.

Reformasi perpajakan ini memang krusial untuk menjamin sumber pemasukan negara, terutama untuk mengantisipasi efek pandemi Covid-19. Sejak pandemi, ekonomi hancur lebur. Pemasukan negara dari pajak pun jeblok. 

Tak heran, periode 2020-2020 defisit anggaran negara melesat di atas 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Utang pun digenjot untuk membiayai belanja negara. 

Anggaran negara jelas tak sehat dan ringkih jika terus menerus mengandalkan utang. Itu sebabnya, agenda reformasi perpajakan digelar agar bisa memicu lagi penerimaan negara dari pajak.

Jalan reformasi perpajakan itu antara lain ditempuh melalui revisi Undang-Undang (UU) No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Pemerintah juga menyiapkan rancangan UU Pengampunan Pajak, UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta UU Pajak Penghasilan (PPh) yang baru.

Nah, dalam draf revisi UU No KUP yang diperoleh KONTAN, pemerintah menetapkan tujuh agenda reformasi pajak (lihat tabel).  Pertama, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) multi-tarif. Kedua, menjalankan program pengampunan pajak (tax amnesty). 

Ketiga, menambah lapisan (layer) baru penghasilan kena pajak beserta tarifnya. Keempat, pengenaan pajak karbon. Kelima, memungut pajak transaksi elektronik (PTE) atas perusahaan digital asing. Keenam, menerapkan alternative minimum tax (AMT) untuk wajib pajak badan yang merugi. Ketujuh, penguatan administrasi perpajakan. Misalnya, membuka peluang menghentikan penuntutan tindak pidana perpajakan dengan pembayaran sanksi administrasi.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, reformasi perpajakan mempertimbangkan struktur ekonomi saat ini hingga ke depan. Harapannya, langkah  ini bisa mengoptimalkan penerimaan pajak, terutama pasca pandemi. "Reformasi perpajakan pasti kami lakukan dengan analisis mendalam dan terukur, arahnya ke mana, hingga efek bagi perekonomian, dengan tetap menjaga iklim investasi dan memperkuat sistem perpajakan," tandas Febrio, Jumat (4/6).

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menilai, reformasi perpajakan memang perlu untuk mendorong ekonomi. Bahkan, Aprindo setuju jika kebijakan itu berlaku awal tahun depan.

Tapi, Roy keberatan dengan rencana kenaikan tarif PPN. Sebab, kebijakan ini bisa memukul industri ritel dan menjadi bumerang bagi perekonomian. "Kalau pajak karbon, PPN untuk barang mewah atau tersier diterapkan, pajak post border yang dari China dikenakan berkali-kali lipat, saya mendukung," kata Roy kepada KONTAN.

Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), setuju dengan rencana perubahan tarif PPN, terutama penerapan multi-tarif. Rencana itu menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan rendah.

Pengamat pajak Center for Indonedia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar juga setuju perubahan penerapan PPN. Cara ini bisa menutup setoran PPh terutama PPh badan yang berpotensi merosot.

Bawono Kristiaji, pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) menilai, penerapan AMT merupakan langkah tepat. Korporasi yang melakukan tax planning dengan skema kerugian bertahun-tahun harus berkontribusi pada penerimaan pajak.

Tapi, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengingatkan. "Kebijakan fiskal ini harus tetap sustainable, tapi tetap longgar, ada fleksibilitas," tandas dia.