Sri Mulyani Bongkar Ancaman Besar Ekonomi RI, Apa Mungkin?

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara terang-terangan memiliki kekhawatiran terhadap ancaman ekonomi di masa yang akan datang, bukan hanya buruk bagi Indonesia, tapi juga dunia.

Kekhawatiran Sri Mulyani kemudian diketahui berdasarkan Laporan World Economic Forum (WEF) bertajuk The Global Risk Report 2021. Laporan ini tentang bagaimana banyak negara dihadapkan konsekuensi atas kebijakan yang diambil ketika menghadapi pandemi.


Saat melakukan sambutan dalam penobatan dan pelantikan para Eselon I Kementerian Keuangan pada Jumat (12/3/2021), Sri Mulyani mengatakan ke depan beberapa risiko mungkin akan muncul dalam 3-5 tahun ke depan. 


"Berbagai risiko diidentifikasi dengan adanya kebijakan countercyclical seluruh negara di dunia. Ke depan kita melihat berbagai risiko asset bubbles, price instability, commodity shocks and debt crises, dan risiko geopolitik," ungkap Sri Mulyani, seperti dikutip Rabu (17/3/2021).


Sementara itu untuk, dalam jangka waktu 10 tahun ke depan, maka risiko yang perlu dikhawatirkan, kata Sri Mulyani adalah cuaca ekstrem, kegagalan tindakan iklim dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia.


Kepala Ekonom BCA, David Sumual, menjelaskan negara-negara berkembang seperti Indonesia juga harus melihat bagaimana negara-negara maju menangani pandemi Covid-19.


Apabila negara-negara maju pulih lebih dulu dibandingkan negara maju, maka konsekuensinya ekonomi bisa tersungkur. Dan betul, apa yang menjadi kekhawatiran Sri Mulyani dan WEF kemungkinan bisa terjadi.


David memberi contoh. Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang baru-baru memberikan bantuan sosial untuk penduduk AS senilai US$ 1.400. Dengan uang itu, masyarakat AS mungkin tidak akan membelanjakan uang tersebut untuk membelanjakannya ke sektor riil, tapi ke belanja pasar modal, dan akhirnya sektor riil tidak tersentuh oleh masyarakat.


"Misalnya stimulus-stimulus di AS, dapat US$ 1.400 atau sekitar Rp 20 juta, orang-orang di sana mau jalan-jalan sulit, beli barang sulit. Akhirnya mereka belanjakan di pasar modal. Dananya masuk ke sana, dan ini yang dimaksud asset bubble," jelas David kepada CNBC Indonesia.


"Itu berisiko di negara berkembang termasuk kita (Indonesia). Risiko sekarang kan orang karena belum bisa bertransaksi di sektor riil, itu banyak investasinya di pasar modal. Terjadi kecenderungan harga-harga aset bubble," kata David melanjutkan.


Celakanya, apabila negara-negara maju seperti di AS mulai pulih dan mulai mengurangi stimulus, imbasnya seperti yang pernah terjadi pada 2013 silam atau dikenal dengan Taper Tantrum, mata uang garuda jeblok dan dana asing ramai-ramai keluar.


"Kalau mereka tapering, seperti 2013 itu artinya aliran modal ke stock market dan komoditas bisa terganggu. Terus commodity naik, harga-harga pangan naik, dan seterusnya. Kalau harga komoditas naik tinggi ini yang bisa menyebabkan risiko geopolitik," jelas David.


Oleh karena itu menurut David, Indonesia sepertinya tidak punya pilihan lain, selain pulih lebih cepat. Sehingga ancaman besar yang baru saja diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak melanda ekonomi tanah air. Khususnya untuk jangka pendek dan menengah.


"Kita harus cepat pulih di dalam negeri. Pemulihan ini kan salah satu fungsinya adalah confident masyarakatnya pulih dalam aktivitas ekonomi. Mulai konsumsi, investasi, belanja rumah tangga, dan lain-lain."


"Ketika itu terjadi (ekonomi negara maju pulih), stimulusnya mungkin mulai dikurangi di negara-negara maju, di Eropa, Amerika. Nah tapering itu bisa dilakukan jika lebih cepat dari yang kita prakiraan. Itu bisa saja menghancurkan, kenapa US Treasury ada kenaikan akhir-akhir ini. Itu suatu hal," jelas David.


Sementara itu jangka panjang (5-10 tahun) pemerintah juga harus memikirkan berbagai risiko. Seperti ketimpangan teknologi. Orang di Indonesia memang menggunakan teknologi yang sama seperti banyak orang di negara lain, tapi kualitasnya tidak sama karena terbatasnya infrastruktur di dalam negeri.


"Kita sebagai negara berkembang secara teknologi lebih inferior dibandingkan negara maju," ujarnya. Pemerintah harus berbuat lebih banyak mengejar ketertinggalan tersebut.


Ada lagi persoalan yang dimungkinkan terjadi adalah digital power concentration. Secara sederhana dapat diartikan adanya pergantian dari sektor rill ke digital. Misalkan kalau dulu dan sekarang itu penikmat rental adalah pemilik gedung, maka sekarang bergeser ke pemilik aplikasi.


"Saya misalnya setiap bulan bayar US$ 15 untuk zoom. Itu juga risikonya ke defisit transaksi berjalan kita nantinya. Karena kan kita bayar dan secara struktural akan mempengaruhi pendapatan pemerintah. Karena banyak aktivitas yang dulunya di sektor rill beralih ke digital. Kebanyakan digital ini dikuasai oleh negara2 maju secara teknologi dan modalnya," kata David.


Dihimpun dari: cnbci