Inflasi AS Mengerikan, Pantas Sri Mulyani Jadi Ded-degan!


Jakarta, Inflasi Amerika Serikat (AS) menjadi perhatian khusus bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sebab bisa menentukan arah kebijakan moneter dari Bank Sentral Federal Reserve (The Fed) ke depan beserta dampak yang dialami negara berkembang seperti Indonesia.

"Kenaikan suku bunga di AS menimbulkan komplikasi di negara berkembang, outflow yang menimbulkan pelemahan nilai tukar rupiah dan menimbulkan dampak ekonomi domestik," ujar dalam acara Squawk Box CNBC Indonesia TV, Kamis (25/11/2021)
Departemen Perdagangan AS kemarin malam melaporkan inflasi yang dilihat dari personal consumption expenditure (PCE) melesat 5% year-on-year (YoY) di bulan Oktober. Rilis tersebut menjadi yang tertinggi sejak November 1990.

Sementara inflasi inti PCE yang tidak memasukkan item energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 4,1% YoY, lebih tinggi dari bulan September 3,6% YoY, dan sesuai dengan prediksi Reuters. Inflasi yang menjadi acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneter ini berada di level tertinggi sejak Januari 1991.

Kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga lebih cepat juga terlihat dari rilis notula rapat kebijakan moneter bulan ini. Dalam notula tersebut menunjukkan para anggota dewan siap menaikkan suku bunga lebih awal jika inflasi terus meningkat.

Indonesia, kata Sri Mulyani mungkin cukup beruntung. Seiring dengan perekonomian yang membaik akibat lonjakan harga komoditas internasional. Terlihat dari posisi neraca perdagangan dan neraca pembayaran yang surplus.

"Current account surplus 1,5%, ini jauh lebih baik dibanding taper tantrum," ujarnya. Di samping itu kepemilikan asing pada surat berharga negara (SBN) juga semakin kecil sehingga menciptakan ketahanan ekonomi yang lebih baik. Defisit APBN juga semakin mengecil seiring dengan pemulihan ekonomi yang mendorong penerimaan negara.

Meski demikian, pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) tetap memonitor ketat agar bisa membaca segala kemungkinan.
"Kami dengan BI akan koordinasi mengawal perekonomian di dalam menghadapi dinamika global yang tidak bisa kita kontrol, kebijakan di AS, Eropa, dan menimbulkan spill over besar," pungkasnya.