NFT, Jalan Baru Pendapatan Fotografer


KITA mungkin tidak pernah membayangkan sebuah gambar digital bisa lebih mahal daripada mobil. Karya digital berbentuk Non-Fungible Token (NFT) mulai populer di Tanah Air beberapa bulan belakangan. Banyak seniman menjual karya mereka di lokapasar dengan mata uang kripto.

Apa yang tidak terbayangkan tadi menjadi mungkin berkat teknologi. Dunia digital mengubah cara masyarakat memberi nilai pada suatu barang. Bila sehari-hari kita terbiasa menilai sesuatu yang benda dan bisa dipegang, kini sesuatu tadi bisa berupa data digital. Bentuknya mulai dari musik, game, animasi, video, gambar, desain, dan banyak lagi.

Sesuatu bisa bernilai lebih tinggi karena unik. Hal yang unik biasanya langka dan bisa tak tergantikan. Tidak tergantikan inilah konsep non-fungible, sesuatu yang tidak bisa ditukar dengan yang lain.

Kita di zaman dahulu hanya mengenal benda seni dan koleksi langka yang non-fungible. Sebuah lukisan mahakarya adalah non-fungible, karena meski diduplikat tidak sama dengan aslinya. Kini sesuatu yang tidak tergantikan tadi bisa berwujud aset digital atau token yaitu NFT yang bisa dibeli menggunakan kripto.

Kicauan pertama CEO Twitter, Jack Dorsey, pada Maret 2006 laku terjual 1.630,58 ether (ETH), ketika itu setara 2,9 juta dollar AS atau sekitar Rp 42 miliar. Kicauan Dorsey berbunyi “just setting up my twttr,” dalam bentuk NFT ini ditawarkan di platform bernama ‘Valuables’.

Fotografer mungkin bisa membayangkan berapa nilai foto digital pertama hasil pemindaian foto yang dilakukan Russell Kirsch pada 1957 bila dijual sebagai NFT.

Bila di zaman dahulu transaksi keuangan umumnya melalui perantara berupa bank, maka transaksi kripto melalui apa yang disebut blockchain. Yaitu suatu jaringan sistem komputer yang aman dan transparan, yang mencatat semua transaksi ke dalam ledger digital melalui internet.

Transparan di sini artinya perpindahan aset dapat dilihat oleh publik. Dalam NFT, pembeli mempunyai bukti kepemilikan karena transaksinya tercatat dalam ledger atau ‘buku besar’ perdagangan tadi. Sebagian besar NFT tersimpan dalam blockchain Ethereum.

Sejarah baru telah tercatat pada Maret lalu. Dikutip dari The New York Times, sebuah gambar kolase berjudul “Everydays —The First 5000 Days” berhasil terjual sebagai NFT melalui lelang di Christie’s seharga 69.3 juta dollar.

NFT tersebut adalah sebuah file gambar JPG karya Mike Winkelmann atau biasa dikenal dengan akun ‘Beeple’. Gambar kolase Winkelmann adalah aset digital NFT pertama yang dijual oleh Christie’s, balai lelang yang sudah beroperasi selama 255 tahun.

Dalam fotografi, ada karya Randall Slavin misalnya, berjudul “Until We Disappear” yang laku dijual seharga 3.5 ETH. Bila saat tulisan ini dibuat 1 ETH setara dengan Rp 54,244.338, maka sebuah foto digital Slavin tersebut berharga Rp 189.855.183. Foto Ravin adalah sebuah gambar bergerak potret musisi rock Chris Cornell yang tewas karena kecelakaan pada 2017.

NFT yang ramai diperdagangkan di masa pandemi Covid-19, terutama setengah tahun belakangan, sejatinya bukan barang baru. Pada 2017 telah ada pembelian spekulatif kucing virtual CryptoKitty milik Dapper Labs yang tersertifikasi blockchain.

Orang bisa saja menyebut NFT adalah sebuah fenomena. Sesuatu yang hadir ketika manusia memiliki keleluasaan atau kelimpahan. Ketika manusia melampaui kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, maka dimulailah hasrat pencarian pada sesuatu yang hanya bisa dijelaskan secara psikologi. Dengan bantuan teknologi, pencarian itu melahirkan NFT.

Fotografi untuk koleksi
Jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda, agensi fotografi kelas dunia Magnum Photos memulai penjualan karya foto yang terotentifikasi, namun tangible. Bila biasanya Magnum melayani sewa dan penjualan aset foto digital, sekitar tahun 2016 mereka mencoba bisnis baru menjual foto dalam bentuk cetak dan atau disertai tanda tangan fotografernya.

Cetakan foto tersebut adalah benda koleksi yang langsung bisa dipajang, mudah dinikmati tanpa bantuan perangkat elektronik, dan nilainya diharapkan bertambah seiring waktu. Harga cetakan foto-foto dari ratusan hingga ribuan dollar, dengan harga paling tinggi untuk cetakan terbatas (limited edition).

Foto cetakan terbatas ‘Chihuahua’ di media platinum bertandatangan jepretan Elliott Erwitt di New York tahun 1946 (dicetak pada 2010) dijual oleh Magnum seharga 25.000 dollar atau sekira Rp 359,8 juta. Harga itu tergolong sangat tinggi untuk karya fotografi yang sering diasumsikan banal.

Penjualan cetakan foto serupa juga dicoba oleh Oscar Motuloh dan kawan-kawan melalui Calibre. Oscar, yang belakangan dianugerahi gelar Empu Ageng (setara doktor) oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta, adalah jurnalis foto kawakan yang membesarkan kantor berita Antara Foto.

Bila ada koleksi dalam bentuk fisik yang bisa dipegang, maka NFT adalah koleksi yang elektronis. Konsep koleksi karya berwujud benda dan NFT sama, hanya teknis dan ekosistemnya yang berbeda.

Interaksi juga memungkinkan terjadi antara seniman dan kolektor, bahkan terbentuk komunitas. Alih rupa juga mungkin terjadi, seperti pada akhir November lalu, rupa NFT dipamerkan tercetak di Art Basel Miami Beach, Florida.

Nilai ekonomi fotografi sebagai NFT cukup menggiurkan. Misalnya, kumpulan aset foto NFT milik Anna Mcnaughty mencapai 33 ETH, atau setara Rp 1,8 miliar. Mcnaughty adalah fotografer muda yang membuat foto-foto olah digital yang imajinatif.

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, ‘Kalau NFT berupa foto adalah file digital, bukankah bisa diperbanyak, sehingga tidak lagi eksklusif?’ Inilah perbedaan NFT dengan file digital pada umumnya.

Kepemilikan NFT berada dalam blockchain yang tercatat dalam ledger publik, sehingga publik juga bisa tahu bila misalnya suatu NFT berpindah tangan dengan dijual kembali ke orang lain. Sebuah NFT bisa dijual 1/1, artinya hanya ada satu edisi yang diperdagangkan, atau bisa dijual dalam bentuk seri atau grup di mana jumlahnya bisa 2, 3, 4 dan seterusnya.

NFT bagi fotografer
Pembeli NFT adalah mereka yang melihat potensi koleksi digital di masa depan. Mereka bisa siapa saja, mulai dari kolektor, orang iseng yang bingung membelanjakan uangnya, pencari popularitas, hingga spekulan.

Memasang dagangan NFT di suatu platform disebut dengan istilah ‘mint’. Untuk dapat melakukannya, fotografer harus memiliki dompet kripto terlebih dahulu. Dompet tersebut tidak hanya menyambungkan rekening kripto kita ke lokapasar NFT, tapi juga untuk membayar biaya mint. Biaya untuk melapak atau mint tadi disebut ‘gas fee’. Sehingga untuk berjualan foto sebagai NFT seorang fotografer juga memerlukan modal.

Keuntungan yang didapat fotografer dari penjualan NFT tidak berhenti ketika karyanya berhasil terjual. Pembuat NFT bisa mendapatkan royalti ketika NFT karyanya dijual kembali oleh pemiliknya. 

Royalti ini bisa diatur ketika fotografer melakukan ‘minting’, yang umumnya berkisar di angka 5-10 persen.
NFT dan kripto bukan tanpa masalah. Setelah orang yang menamai dirinya Satoshi Nakamoto pada 2008 memperkenalkan kripto sebagai transaksi yang bebas dari kendali entitas seperti lembaga atau bahkan negara, nilai mata uang kripto terus meroket. Di balik itu perlu energi besar untuk menggerakkan komputer secara terus-menerus, terutama untuk menambang.

Data yang dimiliki Statista menunjukkan kebutuhan listrik untuk menopang Ethereum saja per 19 Oktober 2021 melampaui kebutuhan listrik negara seperti Kolombia atau Ceko. Diprediksi kebutuhan listrik hingga akhir tahun ini bisa mencapai 79 terawatt jam (TWh). Sementara sebagian besar listrik dihasilkan dari bahan bakar fosil.

Belum lagi persaingan petambang bitcoin yang semakin hari semakin sengit membutuhkan spesifikasi komputer yang makin canggih, sehingga komponen komputer akan terus diganti dengan keluaran terbaru dan menyisakan sampah elektronik. Soal listrik dari fosil ditambah sampah tadi adalah masalah lingkungan yang serius.

Akankah NFT hanya menjadi tren yang suatu waktu akan jenuh dan ditinggalkan? Waktu akan menjawabnya. Yang bisa fotografer lakukan saat ini adalah memanfaatkan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk menaikkan kesejahteraan.

NFT bagi fotografer dan jurnalis foto bisa dilihat dari sisi yang lain, bukan hanya melulu soal uang. Menghasilkan karya NFT bisa menjadi sarana menyeimbangkan rutinitas profesi dengan kebebasan mengekspresikan seni. Terutama bagi mereka yang memotret hal yang sama dari hari ke hari.