Rupiah Digital Jadi 'Senjata' BI Perangi Kripto


Foto: Infografis/ Top 5 Kripto/ Edward Ricardo Sianturi

Jakarta, Bank Indonesia (BI) mengungkapkan tujuan penerbitan Central Bank Currency Digital (CBDC) salah satunya adalah untuk memerangi aset kripto di dalam negeri.

Hal tersebut dikatakan oleh Asisten Gubernur BI, Juda Agung dalam paparannya di hadapan Komisi XI DPR saat dirinya melakukan uji kelayakan sebagai Deputi Gubernur BI, Selasa (30/11/2021).

"Menurut hemat kami, CBDC sebagai upaya mengatasi penggunaan cryptocurrency di dalam transaksi perekonomian," ujarnya.
Juda juga menilai, tidak seharusnya aset kripto dijadikan komoditi di Indonesia. Karena hal ini sangat berdampak signifikan terhadap sistem keuangan.

Aset kripto yang saat ini di bawah pengawasan Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), juga dinilai oleh Juda seharusnya bukan berada di ranah Bappebti.

Juda berharap, aset kripto sebagai komoditi bisa dikaji ulang dan diatur di dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).

"Yang menarik sekarang kripto di bawah Bappebti. Ini perlu kita kaji di dalam RUU P2SK, dan perlu dudukan dengan baik, artinya kripto as komoditi. Padahal implikasinya cukup signifikan pada sistem keuangan," tuturnya saat melakukan uji kelayakan bersama Komisi XI DPR, Selasa (30/11/2021).

"Sepakat perlu dikaji kembali dan mestinya bukan di Bappebti pengawasan mengenai bursa kripto ini," kata Juda melanjutkan.
Meskipun, kata Juda saat ini kripto belum banyak digunakan sebagai transaksi, bahkan di dunia pun dijadikan sebagai instrumen investasi, tapi BI memandang perlu membuat masyarakat memahami bahwa saat ini aset kripto tidak aman, karena tidak ada underlying-nya.

Oleh karena itu, kata Juda, Central Bank Digital Currency (CBDC) alias rupiah digital menjadi upaya BI dalam memerangi transaksi kripto. Dengan adanya rupiah digital ini, Juda optimistis masyarakat akan beralih.

"Kalau dengan kripto bisa melakukan transaksi pembayaran digital. Dengan adanya CBDC, orang akan percaya pada CBDC, rupiah digital Indonesia. Orang akan lebih percaya bank sentral dibandingkan dengan kripto," tuturnya.

Juda juga menjelaskan, jika nanti rupiah digital terbit, keberadaan uang kertas maupun logam tidak akan 'kiamat' atau tergantikan. Karena, porsi peredaran akan disesuaikan dengan kebutuhan di masyarakat.

Konsep tersebut tentunya mampu mengurangi risiko, seperti gangguan pada sistem atau yang lebih buruk yaitu mati listrik.

"CBDC di dalam implementasinya bisa dilakukan secara bertahap. Sekian persen 20% dari uang beredar, tidak full menggantikan, tetap uang kertas uang logam dan digital itu," jelasnya.

"Kalau semua serba digital akan menjadi risiko besar sehingga harus dilakukan, harus tetap ada uang kertas uang logam," papar Juda yang kini menjabat Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI.