Kegebuk Sanksi Sendiri, AS Bisa Resesi karena Minyak Rusia

Foto: lustrasi bendera Rusia - Amerika Serikat. AP/

Jakarta, Larangan impor minyak Rusia ke Amerika Serikat (AS) rupanya dapat memperburuk harga minyak dan pangan yang sudah melonjak. Para analis memperingatkan hal ini dapat memicu resesi di Negeri Paman Sam.

Andy Lipow, Presiden Lipow Oil Associates, mengatakan jika Rusia membalas dengan menolak memasok Eropa dengan minyak, hal itu bisa dengan mudah kembali menaikkan harga minyak dari US$ 20 per barel menjadi US$ 30 per barel. Sebelumnya, Moskow mengancam akan memutus pasokan gas Eropa jika negara-negara Barat menargetkan sanksi ke sektor energi negaranya.

"Ketakutan terbesar saya adalah bahwa harga-harga ini telah naik begitu cepat sehingga Anda menyebabkan resesi di Eropa dan Amerika Latin, yang bergulir ke Amerika Serikat, yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan China untuk menjual barang-barang konsumen ke seluruh dunia," katanya, Rabu (9/3/2022), dikutip dari CNBC International.

Dalam skenario terburuk, larangan total impor energi Rusia di semua negara konsumen utama akan sangat mengurangi dan mengganggu pasokan energi, mengirim harga lebih jauh ke "wilayah yang belum dipetakan"," tulis Caroline Bain, kepala ekonom komoditas di Capital Economics.

"Inflasi di negara maju akan mengakhiri tahun di sekitar 5% dibandingkan dengan 2,4% yang kami perkirakan sebelum serangan, dan efek dari penurunan daya beli rumah tangga dan penjatahan daya di Eropa akan mendorong zona Euro ke dalam resesi," tulis Bain dalam catatan, Senin lalu.

Sementara itu, Kepala Ekonom Goldman Sachs Jan Hatzius menilai secara teori, aliran minyak dapat diatur ulang untuk mengurangi pasokan yang ketat di Barat. Namun, secara praktis hal tersebut kemungkinan tidak berhasil.

"Jika negara-negara Barat membeli lebih sedikit minyak Rusia, China dan India pada prinsipnya dapat membeli lebih banyak minyak Rusia dan dengan demikian mengurangi minyak Saudi dan lainnya, yang kemudian dapat mengalir ke Barat," tulisnya dalam catatan 6 Maret lalu.

"Tetapi penataan ulang ini tidak sempurna, bukan hanya karena peningkatan biaya transportasi dan gesekan teknis lainnya, tetapi juga karena China dan India mungkin enggan untuk meningkatkan impor mereka secara tajam pada saat Rusia menjadi paria global," tambah Hatzius.

Mencerminkan kekhawatiran tersebut, harga minyak telah melonjak lebih dari US$ 20 per barel dan Goldman melihat potensi kenaikan lebih lanjut. Hatzius mengatakan bank investasi memperkirakan lonjakan berkelanjutan senilai US$ 20 dalam harga minyak akan menurunkan PDB riil sebesar 0,6% di zona Euro dan menekan biaya hidup konsumen.

Pada Selasa (8/3/2022) lalu, Presiden AS Joe Biden mengumumkan larangan impor Rusia dan harga minyak mentah AS langsung diperdagangkan di atas US$ 128 per barel, dengan Brent melonjak di atas US$ 130 per barel.

Harga pun telah melonjak dalam beberapa pekan terakhir, naik ke level tertinggi sejak 2008. Hal itu turut dipicu sikap Inggris dan Uni Eropa yang menyatakan akan menghapus bahan bakar fosil Rusia secara bertahap.

Data statistik dari Goldman Sachs mencatat Rusia memasok 11% konsumsi minyak global, 17% konsumsi gas global, dan sebanyak 40% konsumsi gas Eropa Barat pada 2021.