Dollar AS Hadapi Keruntuhan, Negara-negara Dunia Mulai Sadar dan Kini Jauhi Penggunaan Dollar AS


Dollar AS Hadapi Keruntuhan, Negara-negara Dunia Mulai Sadar dan Kini Jauhi Penggunaan Dollar AS

Perusahaan bank investasi dan jasa keuangan multinasional asal Amerika Serikat (AS), Goldman Sachs telah memperingatkan Dollar AS menghadapi risiko keruntuhan.
Perusahan itu mengatakan bahwa Dollar AS akan menghadapi beberapa tantangan, sama seperti yang dihadapi Poundsterling Inggris di awal 1900-an.

Berbagai sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Rusia bisa terus memukul balik negara-negara itu.
Selain krisis energi yang dialami Eropa, pukulan balik itu berupa tergerusnya dominasi dollar AS dalam transaksi internasional.

Langkah AS dan sekutunya yang membekukan bank sentral Rusia telah menimbulkan kekhawatiran bahwa negara di dunia dapat mulai menjauh dari penggunaan dollar AS.
Catatan penelitian Goldman, yang dirilis Kamis (31/3/2022), adalah tanda bahwa investor besar mulai memperhatikan dengan serius terhadap risiko yang dialami Dollar AS.

Analis bank, termasuk ekonom Cristina Tessari, mengatakan Dollar AS menghadapi sejumlah tantangan serupa dengan yang dihadapi oleh pound Inggris sebelum melemah. 

Poundsterling pernah menjadi mata uang cadangan dunia, tetapi digantikan oleh Dollar AS di pertengahan abad ke-20.
Wakil Deputi Pertama Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Gita Gopinath memperingatkan peluang keruntuhan Dollar AS.

 ”Dollar AS akan tetap menjadi mata yang uang utama. Namun, pasti akan muncul mata uang lainnya,”
“Kita sudah melihat sejumlah negara merundingkan ulang mata uang apa untuk membayar perdagangan di antara mereka,” ujarnya sebagaimana dikutip Financial Times.

Sementara itu, Business Insider melaporkan bahwa banyak analis berpendapat status dollar sebagai mata uang cadangan global aman untuk masa mendatang.
Hal itu mengingat tidak ada alternatif mata uang lain yang siap untuk masuk, seperti yang dilakukan dollar AS ketika menggantikan pound.

Goldman Sachs berpendapat bahwa status dolar sebagian besar ada di tangan AS. 
"Kebijakan yang memungkinkan defisit transaksi berjalan yang tidak berkelanjutan untuk bertahan, menyebabkan akumulasi utang luar negeri AS yang besar,
 dan/atau mengakibatkan inflasi AS yang tinggi, dapat berkontribusi untuk substitusi ke mata uang cadangan lainnya," kata analis bank.

Di sisi lain, India-Rusia baru-baru ini tengah menjajaki mekanisme pembayaran transaksi energi antara kedua negara dengan tidak menggunakan dollar AS.
Laporan Bloomberg dikutip dari Kompas menyebut, Moskwa dan New Delhi juga sudah menjajaki mekanisme pembayaran untuk transaksi energi menggunakan SPFS, sistem pengolah transaksi yang dikembangkan bank sentral Rusia sejak 2014.

Data IMF menunjukkan, penggunaan dollar AS dalam transaksi internasional terus berkurang. Dari 70 persen menjadi 60 persen dalam 20 tahun terakhir.
Sementara mata uang lain terus naik porsinya dalam transaksi internasional.

Beberapa hari lalu, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengumumkan Rusia hanya akan menerima rubel untuk pembayaran komoditas energinya. AS dan sekutunya menolak memenuhi permintaan itu.
Mantan Wakil Direktur Pelaksana IMF, Hung Tran, memahami apabila sejumlah negara semakin menjauhi dollar AS dan euro sebagai alat pembayaran dalam transaksi mereka.

China, Rusia, dan sejumlah negara lain akan memilih mata uang sendiri dalam perdagangan di antara mereka.
Tran, yang juga peneliti pada Atlantic Council, menyebut bahwa ada 41 negara menyepakati penggunaan yuan sebagai alat pembayaran transaksi. Nilainya setara 550 miliar dollar AS.

ASEAN telah membentuk Chiang Mai Initiative untuk menggunakan mata uang sendiri dalam perdagangan dengan China, Korea Selatan, dan Jepang.
Nilainya bisa setara 380 miliar dollar AS per tahun. Nilai itu melebihi separuh perdagangan ASEAN-China yang mencapai 685 miliar dollar AS pada 2020.

Adapun nilai total perdagangan ASEAN-AS hanya 362 miliar dollar AS.
Sejumlah negara terus memangkas dollar AS dalam cadangan devisanya.
Indonesia mengurangi 2,53 miliar dollar AS dari cadangan devisa 2020. Indonesia memilih menambah cadangan devisa dalam mata uang lain.

Peneliti senior Hudson Institute, Walter Russell Mead, menyebut bahwa sanksi pada Rusia semakin menyadarkan banyak negara pada bahaya menyimpan aset di bank-bank AS dan sekutunya.
Banyak negara juga semakin sadar bahaya menyimpan aset dalam mata uang AS dan sekutunya.

Di sisi lain, sanksi AS dan sekutunya pada Rusia menunjukkan pengaruh AS semakin tergerus.
Sebagian, seperti dilakukan India dan Vietnam, mengabaikan ancaman AS dan malah mengintensifkan hubungan dengan Rusia.

Sementara mantan Menteri Keuangan Inggris yang kini jadi ekonom Bruegel Institute, Jim O’Neill, tidak yakin China akan bisa menghadirkan alternatif sistem keuangan global.

Sebab, China perlu membiarkan nilai tukar yuan ditentukan pasar jika ingin membuat yuan diterima lebih luas.
Sampai sekarang, China tidak mau melakukan itu dan memilih tetap mengendalikan nilai tukar yuan. ”Siapa mau mengambil risiko dengan itu?” katanya. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)