Kisruh Minyak Goreng: Menilik Peta Produksi, Distribusi dan Raksasa Produsen

Polemik dan kisruh mengenai tata niaga minyak goreng di Indonesia masih terus bergulir hingga saat ini. Kendati Kejaksaan Agung telah menetapkan sejumlah tersangka dalam dugaan permukatan jahat izin ekspor CPO bahan baku minyak goreng, pemerintah tampaknya masih kesulitan dalam membuka tabir kisruh komoditas pangan tersebut. 

Seperti diketahui, pada Selasa (19/4/2022) Kejaksaan Agung (Kejagung) secara resmi menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor bahan baku minyak goreng atau crude palm oil (CPO). 

Keempat orang tersebut adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI, Indrasari Wisnu Wardhana. Kemudian, ada pula Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Stanley MA, General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas Togar Sitanggang dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor. 

Penetapan keempat tersangka itu dilakukan usai penyidik memeriksa sebanyak 19 saksi dan memeriksa 596 dokumen atau surat terkait. Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, penyidik menduga adanya upaya melawan hukum dalam melakukan ekspor dengan melakukan mufakat antara pejabat dengan perusahaan swasta. 

Keempat tersangka tersebut diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kelangkaan minyak goreng di pasaran pada kuartal I tahun ini. 

Adapun, keterlibatan pelaku dari pihak swasta tersebut, membuat korporasi terkait menjadi sorotan publik. Mereka adalah PT Musim Mas, PT Wilmar Nabati Indonesia dan Permata Hijau Group. 

"Mengajukan permohonan izin persetujuan ekspor (PE) dengan tidak memenuhi syarat distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO)," kata Burhanuddin, Selasa (19/4/2022).

Menariknya, ketiga perusahaan tersebut, termasuk produsen yang memproduksi dan mendistribusikan minyak goreng dengan volume terbesar di Indonesia. Hal itu tampak dari data produksi yang diperoleh dari hasil realisasi DMO CPO per Maret 2022. 

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan sepanjang 14 Februari—8 Maret 2022, terdapat lima perusahaan produsen yang mendistribusikan minyak goreng terbesar di Indonesia. 

Pertama, Wilmar Group yang mendistribusikan sebanyak 99,62 juta liter. Kedua, PT Musim Mas dengan 65,32 juta liter. Ketiga, PT Sinar Mas Agro Resources & Technology Tbk. (SMAR) sebanyak 55,18 juta liter. Keempat, Asian Agri dengan 48,59 juta liter. Terakhir, Permata Hijau Group sebanyak 21,19 juta liter.

Komposisi produsen minyak goreng terbesar tersebut, rupanya tak berubah banyak dari sekitar satu dekade silam. Berdasarkan laporan Profil Komoditas Minyak Goreng yang terakhir kali dipublikasikan Kemendag pada 2010 lalu, nama Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau Group tercatat masuk di jajaran lima besar produsen swasta terbesar minyak goreng. 

Bahkan ketiga perusahaan itu menempati posisi tiga teratas sebagai produsen dan penguasa pangsa pasar minyak goreng Indonesia, pada 2009.  Kala itu, Wilmar Group mempunyai kapasitas produksi per tahun sebesar 2,81 juta ton. Perusahaan itu menguasai 18,24 persen pangsa pasar minyak goreng Indonesia.

Di posisi kedua terdapat nama PT Musim Mas yang memiliki kapasitas produksi minyak goreng 2,10 juta ton per tahun dan menguasai 13,64 persen pangsa pasar minyak goreng Indonesia. 

Selanjutnya, Permata Hijau menempati posisi ketiga dengan kapasitas produksi 932.000 ton minyak goreng per tahun. Perusahaan ini memiliki 6,03 persen pangsa pasar Indonesia. 

Dengan menilik besarnya porsi produksi dan penguasaan pasar minyak goreng dari perusahaan-perusahaan tersebut, maka penetapan sejumlah tersangka oleh Kejagung dari masing-masing perusahaan dalam tata niaga CPO dan minyak goreng cukup masuk akal.

POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI 

Di sisi lain, sejatinya penelusuran mengenai pola tata niaga minyak goreng yang sempat mengalami kekisruhan, dapat diperoleh dari hasil survei terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Distribusi Perdagangan Komoditas Minyak Goreng Indonesia 2021.  

Dalam laporan itu, dijelaskan secara gamblang pola distribusi dan produksi minyak goreng di Tanah Air. Penelusuran tata niaga tersebut dilakukan berdasarkan provinsi di Indonesia.

Secara umum urutan distribusi perdagangan minyak goreng di tiap provinsi di Indonesia berupa, produsen menuju ke pedagang perantara dan berakhir ke konsumen akhir. Dalam hal ini konsumen akhir bisa berupa konsumen rumah tangga maupun industri. 

Namun di beberapa provinsi berlaku pula pola impor dari luar provinsi lalu berlanjut ke pedagang perantara dan berakhir ke konsumen akhir. Pola ini lazim dilakukan oleh provinsi yang memiliki keterbatasan jumlah pabrik di wilayahnya dan tingginya konsumsi minyak goreng di tingkat konsumen akhir. 

Berdasarkan data BPS pada 2020, terdapat setidaknya 3 provinsi dengan jumlah pabrik minyak goreng terbanyak di Indonesia. Provinsi itu adalah Sumatra Utara dengan 14 pabrik, DKI Jakarta dengan 11 pabrik dan Jawa Timur sebanyak 23 pabri

Namun demikian, jumlah pabrik yang banyak di suatu provinsi tidak serta merta mempengaruhi harga minyak goreng di daerah tersebut. Terdapat faktor jumlah rantai perdagangan yang pada akhirnya membentuk margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) dan margin perdagangan dan pengangkutan total (MMPt). 

Adapun, MPP merupakan selisih antara nilai penjualan dengan nilai pembelian yang mengikutsertakan biaya pengangkutan. Sementara itu MPPt menggambarkan kenaikan harga dari produsen hingga ke konsumen akhir yang dihitung berdasarkan MPP pelaku perdagangan yang terlibat dalam suatu jalur distribusi. 

Menurut hasil survei pola distribusi pada 2021 di laporan tersebut, pendistribusian minyak goreng dari produsen ke konsumen akhir melibatkan tiga sampai dengan tujuh pelaku usaha perdagangan. 

Sejatinya, pola utama distribusi perdagangan komoditas minyak goreng dari produsen sampai ke konsumen akhir yang terbentuk di Indonesia adalah tiga rantai yang melibatkan dua pedagang perantara yakni distributor dan pedagang eceran. 

Namun, pada kondisi tertentu pola distribusi perdagangan minyak goreng di Indonesia berpotensi menjadi lebih panjang karena banyaknya pelaku perdagangan yang terlibat. Dengan demikian rantai distribusi yang terbentuk menjadi tidak efisien. Efeknya bisa berdampak pada kenaikan harga di tingkat konsumen yang dapat diindikasikan dengan tingginya MPP total (MPPT) maupun volume minyak goreng yang dapat dikonsumsi oleh konsumen akhir. 

Dengan demikian, sejatinya pemerintah dan regulator tata niaga minyak goreng dapat menelusur mengenai kasus kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa waktu lalu, dari pola distribusi minyak goreng di tiap provinsi seperti yang dilaporkan oleh BPS. 

bisnis