Mafia Minyak Goreng & Ironi Para Pengabdi


Tiba-tiba Indrasari Wisnu Wardhana merapat ke Muhammad Lutfi. Dirjen Perdagangan Luar Negeri itu tampak berbisik-bisik ke telinga Menteri Perdagangan saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (17/3).

Mimik muka Lutfi terlihat serius menyimak bisikan Wisnu. Namun, adegan bisik-bisik tersebut hanya sekejap mata. Nyaris tidak ada 30 detik. Sejurus kemudian, Mendag berbicara penuh dengan keyakinan.

“Jadi Pak Ketua, saya baru diberitahukan oleh pak Dirjen Perdagangan Luar Negeri bahwa hari Senin sudah ada calon tersangkanya ,” kata Lutfi, seperti dikutip dari akun Youtube Komisi VI DPR RI Channel.

Sesaat suasana di ruang rapat menjadi senyap setelah mendengar penyataan Lutfi. Padahal, sebelumnya sejumlah anggota dewan mencecarnya. Legislatif menuding pemerintah kalah melawan pengusaha, lebih tepatnya mafia minyak goreng. Tidak ada langkah tegas sehingga harga minyak goreng tak kunjung turun.

Lutfi membantah pemerintah kalah melawan mafia minyak goreng. “Saya tidak bisa kalah dengan mafia minyak. Pemerintah tidak bisa kalah. Itu saya jamin,” tegas mantan Menteri Perdagangan era Presiden ke-6 SBY ini.

Hari pun berganti. Pernyataan Lutfi bahwa akan ada tersangka mafia minyak goreng tak kunjung terbukti. Bahkan, setelah empat hari berlalu, seperti yang sempat dijanjikannya pada saat rapat di Senayan.

Hingga akhirnya, setelah sebulan lebih, Kejaksaan Agung mengumumkan empat orang menjadi tersangka mafia minyak goreng, Selasa (19/4). Dus! Yang menjadi salah satu tersangka adalah Wisnu, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, pembisik Lutfi saat rapat bersama DPR.

Publik pun marah. Geram. Hingga sedih. Ternyata mafia minyak goreng itu ada di internal Kemendag. Yang selama ini berkoar-koar menuding ada mafia minyak goreng di lapangan yang membuat harga komoditas itu sulit turun.

Wisnu disangkakan bersekongkol dengan tiga pihak swasta. Adalah Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup Stanley MA, dan Pierre Togar Sitanggang selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas, langsung dijebloskan ke hotel prodeo.

Jaksa Agung menyangka telah terjadi pemufakatan jahat antara pemohon dan pemberi izin untuk menerbitkan persetujuan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO. Padahal, pemohon ekspor tidak memiliki syarat sebagai eksportir CPO.

Ketiga eksportir tidak memiliki syarat dalam mendistribusikan CPO atau RBD Palm Oil yang sesuai dengan harga penjualan dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Selain itu, tidak memenuhi kewajiban DMO sebesar 20% ke pasar lokal dari total yang diekspor.

***

Kasak-kusuk nama tersangka mafia minyak goreng jadi spekulasi setelah pernyataan Lutfi di DPR sebulan lalu. Di lingkungan pelaku industri minyak sawit pun heboh, terutama korporasi yang melakukan ekspor. Merasa tertuduh, dan tersudut.

Bulan lalu, Bisnis menerima bocoran nama-nama korporasi yang disinyalir bakal menjadi tersangka. Selain tiga nama tersebut, sejumlah nama korporasi milik sejumlah taipan masuk dalam daftar tersangka. Namun, karena azas praduga tak bersalah, tidak akan dibeberkan dalam tulisan ini.

Ketika Bisnis mencoba meminta konfirmasi, banyak eksekutif perusahaan tersebut kebakaran jenggot. Bahkan, ada yang murka karena merasa tidak melakukan pelanggaran hukum, tetapi disebut-sebut bakal menjadi tersangka.

Namun, penetapan tersangka tersebut adalah babak baru. Mafia minyak goreng itu benar-benar ada. Memang, masih ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan para tersangka, yakni jalur praperadilan untuk menggugurkan semua tuduhan tersebut.

Kalangan pelaku usaha langsung melakukan perlawanan atas tuduhan tersebut. Melalui asosiasi usaha tentunya. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) yang mengecam keras atas penetapan menjadi tersangka.

GIMNI tak terima anggotanya dijebloskan ke penjara karena kasus ekspor minyak sawit mentah yang berbuntut kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Bahkan, mereka mengancam akan keluar dari program mandatori minyak goreng subsidi.

“Makanya saya WA ke Dirjen Perindustrian, Pak Putu . Kalau ini begini kami akan mengundurkan diri dari minyak curah ini karena apa, karena kami yang ditangkapi,” kata Ketua Umum GIMNI Sahat Sinaga, Selasa (19/4).

Belakangan kalangan pelaku usaha ini melunak atas penangkapan koleganya tersebut. Tidak mengancam lagi bakal menghentikan produksi minyak goreng curah. Meskipun masih meminta diberikan kejelasan mengenai alasan penetapan menjadi tersangka.

Mereka pun meminta diberikan kepastian hukum terhadap operasional industri CPO dan turunannya. Pasalnya, sejumlah pihak mulai dari Satgas Pangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha hingga Jaksa Agung tengah menelisik hingga ke pabrik-pabrik mencari biang kerok lonjakan harga minyak goreng.

Salah satu keluarga taipan terkaya di republik ini, beberapa bulan lalu, dengan malu-malu menolak penetapan harga minyak goreng kembali di level Rp14.000 per liter. Dengan nada kesal dia membagi cerita harus jual rugi atas ketimpangan harga eceran tetap dengan pasar luar negeri.

Setelah protes senyap pelaku usaha itu, belakangan minyak goreng di pasaran hilang. Menyebabkan antrean mengular di sudut-sudut keramaian. Bahkan, beberapa operasi pasar minyak goreng murah menyebabkan korban jiwa.

***

Oligarki industri sawit sangat kentara. Dari hulu hingga hilir dikuasai oleh segelintir konglomerat. Dari produksi 46,8 juta ton pada tahun lalu, pemerintah melalui PT Perkebunan Nusantara (Persero) hanya mengendalikan sekitar 7%, termasuk hasil panen petani plasma.

Sebagai ilustrasi, lahan seluas 9,7 juta hektare dikuasai oleh pihak swasta, sedangkan PTPN hanya sekitar 600.000 hektare. Dominasi kue ekonomi dari segelintir pengusaha kian kuat seiring dengan program B30, konversi bahan bakar solar dari fosil ke minyak sawit.

Apalagi program ini disubsidi harga jualnya. Subsidi diambilkan dari pungutan ekspor yang dibagi langsung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Tahun lalu, rekor pungutan ekspor CPO sebesar Rp71 triliun.

Adapun, dana pungutan ekspor mayoritas dipakai untuk subsidi B30, hampir 80% dari total dana. Adapun pos lain, seperti peremajaan perkebunan, peningkatan sumber daya manusia, dan riset mendapatkan porsi minoritas.

Belakangan, pemerintah justru mencabut kebijakan DMO dan penetapan harga domestik (domestic price obligation/DMO). Alasannya, kebijakan ini tidak mampu meredam kenaikan harga minyak goreng, dan menyebabkan kelangkaan. Namun, kebijakan ini disinyalir menjadi awal mula kongkalikong kasus korupsi minyak goreng.

Selanjutnya, pemerintah memilih untuk mensubsidi harga minyak goreng. Anggaran subsidi diambilkan dari dana pungutan ekspor. Hal itu dilakukan setelah pemerintah lewat Kementerian Keuangan menaikkan tarif pungutan ekspor (levy) CPO dan produk turunannya.

Levy naik dari maksimal US$355 per ton menjadi US$375 per ton. Aturan ini juga diikuti dengan kenaikan batas atas harga CPO dari US$1.000 menjadi di atas US$1.500 per ton. Namun, nilai pungutan ekspor itu akan ditambah bea keluar sebesar US$200 per ton.

Dengan demikian, total pungutan mencapai US$575 per ton. Pemerintah pun yakin dengan besaran pungutan itu akan membanjiri pasokan minyak sawit di dalam negeri sehingga berdampak pada penurunan harga minyak goreng.

Namun, setelah sebulan kenaikan pungutan ekspor, harga minyak goreng masih saja tinggi. Pemerintah, melalui Menteri BUMN, pun sempat memohon kepada pelaku usaha agar membantu menyelesaikan masalah harga minyak goreng.

Itu pun masih tidak direspons produsen. Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil langkah baru, melarang ekspor CPO dan minyak goreng untuk mendorong penurunan harga di dalam negeri. Kebijakan yang diputuskan kemarin itu mulai berlaku Kamis, 28 April 2022. Apakah kali ini manjur?

bisnis