Resesi Dunia Ngeri, Orang Bakal Sampai Susah Dapat Makan?

Jakarta, Bank Dunia dalam Global Economic Prospects edisi Juni 2022 memperingatkan resesi ekonomi bersamaan dengan inflasi yang tinggi atau disebut stagflasi akibat pandemi Covid-19 yang belum usai, ditambah adanya konflik Rusia dan Ukraina.

Bank Dunia bahkan menyebut, situasi sekarang memiliki banyak kemiripan dengan dekade 1970-an dimana gangguan sisi pasokan yang terus-menerus didahului oleh kebijakan moneter yang akomodatif di negara-negara maju.

Di satu sisi dampak geopolitik Rusia vs Ukraina ini membawa keberkahan tersendiri bagi Indonesia sebagai negara yang berlimpah dengan komoditas unggulan seperti crude palm oil (CPO), batubara, dan sebagainya.

Tampaknya Indonesia mempunyai peluang yang lebih baik dalam menghadapi resesi. Namun tentu harus diiringi dengan bauran kebijakan yang memadai.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan memandang resesi global telah terjadi sejak awal tahun ini, karena saat itu ekonomi global mengalami penurunan pertumbuhan yang diikuti dengan peningkatan inflasi atau stagflasi.

"Stagflasi akan sangat berbahaya karena dari sisi permintaan akan menggerus daya beli masyarakat, sementara dari sisi penawaran tenaga kerja akan berisiko pada pemutusan hubungan kerja (PHK)," jelas Abdul kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/7/2022).

Ketika inflasi meningkat, berarti biaya input produksi bagi perusahaan akan meningkat. Pada satu sisi dia tidak bisa langsung menaikan harga barang pokoknya, karena daya beli sedang rendah.

Selanjutnya, gejolak ekonomi global ini akan mempengaruhi melemahnya nilai tukar rupiah atau depresiasi. Ketika depresiasi terjadi, semua agenda ekonomi akan terpengaruh.

"Pengaruh terhadap orang2 kaya atau pengusaha itu terlihat dari lonjakan produksi biaya perusahaan mereka," jelas Abdul.

"Bagi kita rakyat jelata ini kenanya lewat harga barang2 pokok yang kita beli, kan sebagian besar bahan makanan kita diimpor, misalnya kedelai," ujarnya lagi.

Menurut Abdul krisis ekonomi yang akan terjadi, dampaknya akan lebih para dari krisis 1998 dan 2008.

"Kalau krisis 1998 hanya terjadi di kawasan Asia. Sementara di luar Asia itu dia ekonominya rebound karena waktu itu ada kenaikan harga komoditas. Sama juga dengan 2008, yang terkena paling signifikan itu AS, tapi yang terkena kan hanya sektor keuangan, sementara sektor riil bisa bergerak," jelas Abdul.

Nah, yang terjadi sekarang, situasi itu terbalik, di saat pandemi melanda semua sektor ekonomi mengalami penurunan. Ditambah lagi adanya gejolak geopolitik Rusia-Ukraina, yang diikuti melonjaknya harga komoditas dan inflasi.

"Akumulasi itu lah yang menyimpulkan situasi sekarang yang tidak baik-baik saja. Akan lebih buruk dibandingkan krisis 98 dan 2008," ujarnya.

Oleh karena itu, Abdul menyarankan agar otoritas terus meningkatkan ekonomi di dalam negeri. Harga-harga komoditas yang diatur pemerintah, agar ditahan dulu kenaikannya. Implikasinya memang akan menggerogoti fiskal.

Namun jika harga-harga komoditas dibiarkan tertransmisi kepada konsumen atau masyarakat, ekonomi Indonesia akan sulit tumbuhnya dan masyarakat akan semakin menderita.

"Karena ini baru pandemi, belum ada lahan pekerjaan baru. Kalau tiba-tiba harga semua naik, itu akan menyebabkan masalah baru di ekonomi kita, khususnya lonjakan pengangguran dan angka kemiskinan," jelas Abdul.


Sumber