Ekonomi Dunia Gelap di 2023, Mampukah RI Bertahan?

Jakarta, Perekonomian dunia diramal gelap pada 2023 mendatang. Penyebabnya, kondisi geopolitik yang berimbas pada kenaikan laju inflasi serta risiko stagflasi. Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody BudiWaluyo menjelaskan, stagflasi ditandai dengan kenaikan tajam inflasi di suatu negara. Risiko stagflasi tersebut akan dialami oleh banyak negara.

"Risiko stagflasi akan dialami banyak negara," kata Dody Budi Waluyo dalam Economic Update, CNBC Indonesia dikutip Kamis (18/8/2022).

Namun, Bank Indonesia meyakini perekonomian Indonesia tetap kuat, meskipun kondisi global berpotensi melemah. Menurutnya, perekonomian Indonesia kuat secara fundamental. Dari data BPS, ekonomi triwulan II/2022 tercatat tumbuh mencapai 5,4%, lebih tinggi dibandingkan 2020. "Ekonomi dalam tracking pascapandemi dan BI melihat makroekonomi Indonesia kuat dari inflasi," jelasnya.

BI pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh dalam kisaran konservatif antara 4,7%-5,5%. "Artinya kita waspada terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi global, perdagangan global yang akan mempengaruhi harga komoditas," ujar Dody.

Meskipun demikian, dia tidak menampik adanya efek dari perlambatan global terhadap ekonomi Indonesia. Menurut Dody, kondisi perlambatan global akan tetap berpengaruh.

Oleh karena itu, BI menilai kombinasi kebijakan mendorong pertumbuhan ekonomi bersama stabilitas yang terjaga. "Bauran kebijakan BI progrowth dengan prostability, dibaurkan dengan kebijakan fiskal yang akomodatif dan prudent serta stabilitas sektor jasa keuangan," katanya.

Di Indonesia, Dody memastikan bahwa BI tetap mengkaji dan mengkalibrasi semua kebijakan yang ada. BI akan melihat kembali sumber penyebab inflasi. "Kalau toh inflasi ini bisa kita jaga dengan melalui koordinasi, melalui kegiatan menjaga pasokan karena ini merupakan source inflasi, tentunya kita tidak menggunakan suku bunga," tegasnya.

Pasalnya, BI melihat inflasi inti sekarang masih 2,9 persen. Kendati aman, Dody menuturkan bahwa ruang untuk kenaikan suku bunga tetap terbuka dengan melihat berapa besar potensi kenaikan konsistensi inflasi inti, serta ekspektasi inflasinya.

Meski demikian, suku bunga bukan menjadi satu-satunya alat kebijakan BI.

"Preemptive dari kebijakan yang kita lakukan tidak semata harus melalui suku bunga, tapi juga bisa dilakukan dengan, entah likuiditas yang kita atur lebih terjaga, maupun dengan kebijakan koordinasi dari sisi untuk mengatasi supply-nya," ungkap Dody.


Sumber