Suku Bunga Sudah Naik, BBM Siap Menyusul, Wong Cilik yang Sabar Ya...

Jakarta-Bank Indonesia (BI) kemarin menaikkan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 3,75% dari sebelumnya 3,5% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus 2022.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan langkah bank sentral menaikkan suku bunga acuan sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat.

Perry melanjutkan, bank sentral selalu melakukan berdasarkan pertimbangan, mulai dari bagaimana cara mengendalikan inflasi inti dan inflasi ekspektasi agar sejalan dengan sasaran yang ditetapkan pemerintah yaitu 3,5% plus minus 1%.

"Inflasi inti dan inflasi IHK bergerak beriringan. Pengendaliannya sama," kata dia dalam konferensi pers, Selasa (23/8/2022).

BI memprediksi angka inflasi inti akhir tahun ini berada di bawah 4%. Kemudian dengan dampak kenaikan harga BBM non subsidi dan kenaikan inflasi volatile food, maka inflasi akhir tahun ini bisa sedikit lebih tinggi dari 4% yaitu kurang lebih 4,15%.

Lalu untuk inflasi IHK diprediksi mencapai 5,24%. "Ini pertimbangan pertama kenapa kenaikan BI rate sebagai langkah pre-emptive dan ekspektasi inflasi karena dampak dari harga BBM dan volatile food," jelas dia.

Perry menambahkan dalam merumuskan respon kebijakan BI melakukan kalibrasi atau perhitungan yang cermat dan terukur. Jadi tak cuma respon inflasi inti agar kembali ke sasarannya tapi juga pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini bahkan lebih tinggi dari perkiraan BI.

Secara keseluruhan tahun 2022, Perry menyebut pertumbuhan ekonomi bergerak bias ke atas dari perkiraan BI di level 4,5%-5,3%.

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin nyata. Sinyal kenaikan harga BBM semakin berhembus kencang dan dikabarkan akan diumumkan dalam waktu dekat.

Kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bicara soal isu kenaikan harga BBM. Jokowi mengatakan, kenaikan harga BBM menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu ia meminta hal ini diputuskan secara hati-hati.

"Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Jadi semuanya harus diputuskan secara hati-hati. Dikalkulasikan dampaknya," kata Jokowi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Selasa (23/8/2022).

BBM yang mendapat subsidi salah satunya ialah Pertalite. Hingga saat ini, Pertalite masih dibandrol Rp 7.650/liter. Sementara, beberapa BBM nonsubsidi mengalami kenaikan di awal Agustus. BBM itu yakni Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.

BBM yang disubsidi pemerintah saat ini adalah Pertalite yang harganya masih ditahan di level Rp 7.650 per liter.

Subsidi Energi Bisa Jebol

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan subsidi energi dan kompensasi yang sebesar Rp 502,4 triliun tidak akan cukup sampai akhir 2022. Pasalnya konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya Pertalite, terus meningkat.

"Dengan harga BBM, minyak dunia yang terus tinggi, Rp 502 triliun diperkirakan akan habis dan masih belum mencukupi. Kita memeperkirakan apabila laju konsumsi seperti yang terjadi pada 7 bulan terakhir ini, maka Rp 502 triliun akan habis dan masih akan ada tambahan lagi," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, (23/8/2022).

Padahal besaran subsidi energi dan kompensasi yang sebesar Rp 502,4 triliun sudah naik 3x lipat dari alokasi sebelumnya yang hanya Rp 152,5 triliun. Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, volume Pertalite diperkirakan akan jebol dari 23 juta kilo liter (KL) menjadi 29 juta KL jika tidak ada pengendalian konsumsi.

Dengan jebolnya volume tersebut, Sri Mulyani memperkirakan subsidi Pertalite dan Solar bisa meledak Rp 198 triliun atau menjadi Rp 700 triliun sampai akhir tahun. Tambahan itu akan terjadi jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM dalam waktu dekat.

"Kalau harga minyak terus di atas US$ 100 per barel, maka kita perkirakan subsidi itu harus nambah lagi bahkan bisa mencapai Rp 198 triliun, di atas Rp 502 triliun, nambah kalau kita nggak menaikkan BBM. Kalau nggak ada apa-apa, tidak dilakukan pembatasan, Rp 502 triliun tidak akan cukup," jelasnya.


Sumber