Bisnis Pay Later Terancam 'Tsunami' Bunga Tinggi

Jakarta, Harus diakui, rakyat Indonesia makin sejahtera. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita pada 2021 adalah Rp 62,2 juta. Naik dibandingkan tahun sebelumnya yaitu Rp 56,9 juta.

Seiring perbaikan kesejahteraan, konsumsi pun meningkat. Pada 2020, nilai konsumsi rumah tangga Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) adalah Rp 8.899,9 triliun. Setahun sesudahnya naik menjadi Rp 9.236 triliun.

Penambahan konsumsi ini dibarengi dengan munculnya kemudahan dalam membeli barang dan jasa. Salah satunya adalah dengan kelahiran metode pembayaran Buy Now Pay Later (BNPL).

Dengan metode ini, masyarakat bisa membeli barang dan jasa sekarang dan dibayar kemudian. Bisa dalam 30 hari, tiga bulan, enam bulan, sembilan bulan, sampai 12 bulan. Ditambah bunga tentu saja.

Menurut GlobalData, transaksi BNPL di seluruh dunia pada 2021 adalah US$ 120 miliar (Rp 1.748,28 trilun dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.569 seperti kurs acuan Bank Indonesia 10 Juni 2022). Meroket 263,64% dibandingkan 2020.

Mengutip BNPL Survey yang dilakukan Research and Market, nilai transaksi BNPL di Indonesia pada 2021 diperkirakan mencapai US$ 1,54 miliar pada akhir 2021 (Rp 22,39 trilun). Angka itu melonjak 72,8% dibandingkan 2020.

Masa depan bisnis BNPL di Tanah Air diperkirakan cerah, dengan proyeksi pertumbuhan rata-rata 29,2% per tahun sepanjang 2021-2028. Pada 2028, nilai BNPL diperkirakan mencapai US$ 9,22 miliar (Rp 134,35 triliun).

Menurut kajian Research and Market, minimnya penetrasi kredit perbankan di Indonesia mendorong pertumbuhan BNPL. Di sisi lain, penetrasi ponsel pintar begitu kuat. Kemudahan akses BNPL melalui ponsel pintar membuat bisnis ini memiliki masa depan cerah.

"Sekitar 40% pengguna di dunia memilih BNPL karena tidak memiliki kartu kredit. Indonesia memiliki masalah yang sama, karena lebih dari separuh populasi belum tersentuh layanan perbankan," sebut riset itu.

Seperti disebut sebelumnya, BNPL memang menawarkan kemudahan bertransaksi. Namun tentu ada bunga, yang biasanya diperhitungkan di depan.

Model bisnis BNPL diuntungkan dengan iklim suku bunga rendah, yang terjadi saat pandemi Covid-19. Di Amerika Serikat (AS), suku bunga acuan dipangkas habis-habisan sehingga mendekati 0%. Bank Indonesia juga memotong suku bunga acuan sampai ke 3,5%, terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Namun sekarang situasinya berubah. Perang Rusia-Ukraina menyebabkan harga komoditas melambung tinggi. Maklum, berbagai komoditas mulai dari migas, pertambangan, hingga pangan banyak didatangkan dari dua negara tersebut.

Tingginya harga komoditas kemudian menyebabkan inflasi melonjak. Di AS, inflasi pada Mei 2022 tercatat 8,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah rekor tertinggi sejak 1981.

"Laju inflasi dalam beberapa bulan terakhir lebih 'panas' dari perkiraan. Sepertinya ini menjadi pengingat bahwa inflasi masih akan terus bersama kita dalam waktu yang lebih lama," kata Michael Sheldon, Chief Investment Officer di RDM Financial Group yang berbasis di Connecticut, seperti dikutip dari Reuters.

Data inflasi terbaru membuat pasar makin yakin bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga secara agresif. Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1,25-1,5% adalah 76,8%. Lebih gila lagi, kenaikan 75 bps ke 1,5-1,75% juga masuk perhitungan dengan kemungkinan 23,2%.

"The Fed pasti akan melakukan apapun untuk menurunkan inflasi dalam 12-18 bulan mendatang," lanjut Sheldon.

Ketika suku bunga tinggi, maka biaya yang harus ditanggung konsumen BNPL tentu akan ikut naik. Belum lagi ada kemungkinan terjadi resesi (amit-amit), yang bisa memukul daya beli. Ini membuat prospek bisnis BNPL menjadi penuh tanda tanya.

Dibayangi oleh risiko tersebut, harga saham emiten penyedia BNPL di Wall Street turun tajam. Bahkan koreksinya lebih dalam ketimbang indeks Nasdaq Composite tempat mereka bernaung.

"Sekarang investor lebih waspada. Sebab, ada risiko kalau sampai ada perlambatan ekonomi, atau bahkan resesi," tegas Bryan Kaane, Senior Payment Analyst di Deutsche Bank, seperti diberitakan Reuters.

Klarna, perusahaan penyedia BNPL di AS, baru-baru ini melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 700 karyawannya. Jumlah itu adalah 10% dari jumlah pekerja di sana.

Jordan McKee, Principal Research Analyst di 451 Research, menilai perusahaan BNPL tidak hanya menghadapi tantangan dari sisi penurunan konsumen akibat berkurangnya daya beli gara-gara inflasi tinggi. Mereka juga menghadapi masalah besar di sisi internal.

"Kebanyakan perusahaan BNPL mengandalkan pendanaan dari luar, yang kemudian dipakai untuk meminjamkannya kepada konsumen. Awalnya mereka bisa mendapatkan pendanaan dengan bunga rendah, dan membebankan bunga sedikit lebih tinggi kepada konsumen, masih ada diferensiasi.

"Namun sekarang mungkin mereka harus membayar bunga tinggi untuk pendanaan. Kalau mereka masih mempertahankan bunga rendah di tingkat konsumen, maka margin akan tertekan," papar McKee, seperti dikutip dari Reuters.

Akan tetapi, bukan berarti bisnis BNPL bakal mati di tengah iklim suku bunga tinggi. Rob Galtman, Senior Director di Fitch Ratings, menilai bisnis BNPL masih bisa bertahan karena pendanaan yang diperoleh bersifat jangka panjang sementara pendapatan adalah jangka pendek. Masa kredit BNPL biasanya maksimal hanya 12 bulan sehingga tidak ada missmatch.


CNBCI